Total Tayangan Halaman

Selasa, 26 Juli 2011

PERANAN OTONOMI DAERAH DALAM MENCEGAH DISINTEGRASI BANGSA

PERANAN OTONOMI DAERAH
DALAM MENCEGAH DISINTEGRASI BANGSA





Oleh :
I WAYAN MIYASA
0714041020
A






JURUSAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2011
BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah
Kebijaksanaan desentralisasi yang tertuang dalam Undang-Undang No. 22 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999, merupakan strategi baru dalam memasuki era globalisasi dan perdagangan bebas. Kedua Undang-Undang tersebut, diharapkan dapat mengembangkan kehidupan demokrasi, peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat, serta terpeliharanya nilai-nilai keanekaragaman daerah. Adanya kekhawatiran bakal timbulnya disintegrasi apabila kewenangan otonomi
daerah secara luas, adalah tidak mendasar dan tidak relevan lagi.Beberapa tahun reformasi, berbagai elemen bangsa bak lepas kendali. Kerinduan untuk bebas berbicara yang selama ini sulit diperoleh, pada era reformasi ini betul betul dinikmati habis habisan. Tidak jelas apakah sekelompok orang itu menyanyi atau berpidato, terkadang yang terdengar mirip-mirip sumpah serapah. Hiruk pikuk sekali.
Atas nama keadilan, demokrasi dan HAM , berbagai rambu kehidupan pun sering diterjang. Dan ketika pesta gegap gempita mulai mereda, kelelahan, dan kesadaranpun mulai muncul kembali dan pikiran jernih mulai berbicara. Kita terperangah ketika mengetahui terlanjur banyak sudah yang hilang dari bangsa ini. Kepercayaan antar elemen bangsa. Kebanggaan sebagai bangsa yang ramah. Rasa kebangsaan yang terasa semakin tergerus. Rasa aman tanpa tawuran dan bom. Serta rasa-rasa lain yang hilang begitu cepat. Termasuk rasa hormat pada yang dituakan dan pejabat negara.
Disintegrasi bangsa yang menghantui negeri ini bisa muncul dari berbagai sumber. Kebhinekaan yang dianggap sebagai kekayaan bangsa, baik dari segi etnik yang berjumlah puluhan, budaya, bahasa, adat istiadat, agama serta berbagai kepercayaan yang ada, ternyata mempunyai sisi yang rawan berupa potensi perpecahan yang implikasinya bisa sangat luas dan mendalam. Artinya, celah peluang sekecil apapun dapat disalahgunakan untuk maksud - maksud yang merugikan integritas wilayah NKRI.
Otonomi daerah seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 dapat dipandang dari mempunyai dua sisi yang berbeda. Manfaat atau tidaknya otoda bagi kemaslahatan bangsa akan sangat bergantung pada bagaimanan cara kita
memperlakukannya.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari latar belakang diatas yaitu :
1. Bagaimanakah dasar pemikiran tentang OTDA dan proses terjadinya disintegrasi bangsa ?
2. Bagaimana analisis pelaksanaan otonomi daerah terhadap stabilitas ?
3. Bagaimanakah cara Meluruskan, mengamankan dan memberdayakan otoda dalam mencegah disintegrasi.
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu :
1. Untuk mengetahui dasar pemikiran OTDA dan proses terjadinya disintegrasi bangsa.
2. Untuk mengetahui analisis pelaksanaan otonomi daerah terhadap stabilitas.
3. Untuk mengetahui cara Meluruskan, mengamankan dan memberdayakan otoda dalam mencegah disintegrasi.
1.4 Manfaat
Manfaat dari pembuatan makalah ini yaitu, dengan mempelajari peranan OTDA dalam mencegah disintegrasi bangsa diharapkan bagi seluruh lapisan masyarakat mampu melaksanakan OTDA sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karena, OTDA akan memberikan dampak posiif maupun negatif terhadap daerah-daerah di Indonesia.
1.5 Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, metode yang peneliti gunakan yaitu mencari sumber dari beberapa artikel/literature-literatur di internet, kemudian menyimpulkannya kedalam bentuk makalah ini.









BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Dasar pemikiran OTDA dan Proses Terjadinya Disintegrasi Bangsa
a. Fenomena Disintegrasi Bangsa
Kekhawatiran tentang perpecahan (disintegrasi) bangsa, berangkat dari kondisi tanah air dewasa ini yang dihadapkan pada konflik dan pertikaian. Berbagai akumulasi masalah sosial yang terpendam dimasa lalu, saat ini muncul dalam bentuk yang bisa berbeda satu sama lain. Asalkan ada sedikit saja pemicunya, persoalan yang sepele pun dengan cepat bisa meledak, menyebar dan meluas secara cepat.
Seiring dengan itu lahir sejumlah tuntutan daerah-daerah diluar Jawa agar mendapatkan otonomi yang lebih luas atau malahan tuntutan untuk merdeka. Hal-hal tersebut semakin menambah parah situasi. Separatis GAM dan OPM yang memasang harga mati bagi kemerdekaannya merupakan contoh kasus yang perlu ditanggulangi.
Paham dan gerakan separatis ingin memisahkan diri dari NKRI ini. Eksistensinya akan sangat bergantung pada situasi, dan kalau diamati lebih jauh maka penyebab yang melatarbelakangi hal tsb, antara lain : kadar cinta tanah air (patriotisme dan nasionalisme) yang kurang/tipis, sakit hati, frustrasi, balas dendam, kesenjangan, iri hati dan ketidaksetujuan/kontra dengan pihak pemerintah. Atau mungkin bahkan karena provokasi pihak asing.

b. Fenomena Kebebasan
Kebebasan dalam era globalisasi dewasa ini merupakan kata ampuh yang digunakan dalam fora nasional dan internasional. Dalam hubungan antar bangsa implikasinya lebih luas lagi, digunakan dalam ajang perebutan pengaruh dan kekuasaan ekonomi, politik, budaya dan berbagai kepentingan lain baik dalam skala domestik maupun skala internasional.
Atas dasar kebebasan, berbagai legalitas dan nilai hukum dipertanyakan. Dekonstruksi terhadap produk pemikiran mencuat ke permukaan dan merupakan model kecenderungan baru. Eksistensi dan otoritas hakhak tradisional, eksistensi pemerintah dicurigai, anti kemapanan pun menjadi isu politik. Kebebasan tanpa kendali cenderung melahirkan berbagai kekisruhan politik dan disorientasi nilai.

 Proses Terjadinya Disintegrasi Bangsa
Disintegrasi bangsa dapat terjadi karena adanya konflik vertikal atau konflik horizontal serta konflik komunal sebagai akibat tuntutan demokratisasi yang melampaui batas, sikap primordialisme bernuansa SARA, konflik antar elite politik, lambatnya pemulihan ekonomi, lemahnya penegakan hukum dan HAM serta ketidaksiapan pelaksanaan otonomi daerah.
a. Tuntutan demokratisasi yang melampaui batas
Reformasi yang semangatnya adalah melakukan rekonstruksi penyelenggaraan pemerintahan yang lebih demokratis, serta untuk membentuk pemerintahan yang legitimate, dalam kenyataannya sekian tahun pemerintahan reformasi berjalan belum mampu menyelesaikan berbagai masalah, termasuk agenda reformasi yang dicanangkannya. Kondisi stabilitas keamanan nasional boleh dikatakan telah mencapai kondisi yang sangat memprihatinkan. Implikasi dari semangat reformasi telah menimbulkan kerugian besar baik materiil maupun imateriil. Ekses negatif dari proses reformasi dapat dilihat dari makin merebaknya tindak kekerasan, anarkisme, serta diabaikannya etika dan moral. Selain itu lemahnya penegakan hukum telah menurunkan kepercayaan.

b. Sikap primordialisme sempit bernuansa SARA
Kemajemukan bangsa yang terdiri dari berbagai suku, agama, adat, bahasa dan budaya disatu sisi merupakan kekayaan bangsa dan negara yang tidak ternilai harganya. Namun disisi lain kemajemukan bangsa sarat dan rentan dengan konflik yang dapat mengganggu keamanan. Konflik sosial bernuansakan SARA selama ini seperti yang terjadi di Maluku, Sampit dan lain sebagainya menunjukkan rapuhnya rasa kebangsaan dan semangat solidaritas sosial. Benturan antar suku asli daerah dengan suku pendatang terjadi akibat adanya rasa kesukuan yang berlebihan yang berdampak kepada ketidaksukaan kepada suku lainnya, baik karena kecemburuan sosial ataupun tidak dapat menerima sikap dan perilaku suku lainnya yang dianggap tidak sesuai ataupun tidak pantas bagi adat dan budaya setempat. Hal itu menjadi faktor dan sumber gangguan keamanan yang sampai saat ini masih dicari cara penyelesaiannya yang efektif. Oleh karena itu apabila semangat primordialisme yang bernuansakan SARA tidak diwaspadai maka stabilitas keamanan nasional akan terus mengalami krisis yang berkelanjutan.

c. Fanatisme agama yang berlebihan
Fanatisme agama pada dasarnya adalah sesuatu yang wajar bila dikaitkan dengan keimanan dan ketakwaan. Akan tetapi bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai agama acapkali sangat mudah tersulut oleh permasalahan SARA dengan latar belakang agama. Agama Islam yang memiliki penganut terbesar di Indonesia tentu menjadi kunci dalam kerukunan kehidupan umat beragama dan antar agama. Sebab toleransi dan tenggang rasa dari umat Islam akan dapat memberikan kesejukan dalam hubungan antara agama dan sebaliknya sikap fanatisme yang sempit akan dapat menghancurkan kerukunan kehidupan umat beragama dan antar agama.

d. Konflik Antar elite politik
Lebih dari 25 tahun setiap Pemilu hanya diikuti 3 kontestan yaitu dua Partai Politik dan satu Golongan Karya. Dengan diundangkannya UU No. 2/1999 tentang Partai Politik, telah memberikan implikasi yang cukup signifikan yaitu dalam Pemilu 1999 diikuti 48 Partai Politik, sedangkan dalam Pemilu 2004 mendatang, 24 partai akan berlaga. Dengan semakin baiknya kehidupan berdemokrasi, logikanya tahun 1999 dengan banyak partai politik yang mengatasnamakan demokrasi akan menghasilkan kondisi berbangsa dan bernegara jadi lebih baik, namun kenyataan dilapangan justru sebaliknya banyak dijumpai terjadinya pelanggaran hukum, pelanggaran hak asasi manusia, bahkan semakin terlihat adanya pelanggaran etika dan moral.

e. Lambatnya Pemulihan Ekonomi
Meskipun telah dilakukan upaya untuk mengatasi krisis ekonomi, tetapi hasilnya belum memadai. Lambatnya proses pemulihan ekonomi ini terutama disebabkan oleh tiga faktor :
1) Tidak adanya sense of crisis dari penyelenggara negara serta tidak jelasnya prioritas penyelesaian resesi.
2) Penyelenggaraan negara dibidang ekonomi yang terpusat dengan campur tangan pemerintah yang terlalu besar telah mengakibatkan mekanisme pasar tidak berfungsi secara efektif.
3) Kesenjangan ekonomi antara pusat dan daerah, antar daerah, antar pelaku, dan antar golongan telah memicu kerawanan sosial dan keamanan apalagi lambatnya pemulihan ekonomi mengakibatkan pengangguran meningkat hingga ±36 juta orang, meningkatnya kriminalitas dan frustrasi sosial yang mengarah pada kecemburuan sosial ekonomi.

f. Lemahnya Penegakan Hukum dan HAM
Untuk mewujudkan kesatuan bangsa yang kokoh salah satu agenda penting saat ini adalah penegakan supremasi hukum. Penegakan hukum harus mencakup aspek budaya hukum, penyempurnaan dan pembaharuan substansi hokum. Selain itu juga dilakukan pembenahan dan penataan lembaga penegak hukum agar terwujud kewibawaan hukum. Lemahnya penegakan hukum dan HAM saat ini bukan hanya semakin menipiskan kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah namun juga menjadi sorotan dunia internasional. Oleh karena itu keberhasilan penegakan hukum dan pemulihan citra penegakan HAM akan mengurangi ketegangan dan gejolak di daerah, sehingga terwujud stabilitas keamanan nasional.

2.2 Analisis Pelaksanaan Otonomi Daerah terhadap stabilitas
Dalam era transisi kebijakan sentralistik ke desentralistik demokratis yang dituju dalam pemerintahan nasional sebagaimana ditandai dengan diberlakukannya Otonomi daerah sesuai dengan Undang-undang No. 22 tahun 1999 sejak tanggal 1 Januari 2001, memang masih ditemui kendala-kendala yang perlu diatasi. Dari sekian kendala terdapat permasalahan yang mengandung potensi instabilitas yang dapat mengarah kepada melemahnya ketahanan nasional di daerah bahkan dapat memicu terjadinya disintegrasi bangsa bila tidak segera diatasi. Hal itu antara lain :

a. Masalah hubungan antara DPRD dan Kepala Daerah
Walaupun Kepala Daerah dalam kedudukan sebagai Badan Eksekutif Daerah bertanggung jawab kepada DPRD, namun DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah tetap merupakan partner (mitra) dari dan berkedudukan sejajar dengan Pemerintah Daerah c.q. Kepala Daerah. Masalah seperti ini pun sangat terasa di Pusat. Kesan memposisikan diri lebih kuat, lebih tinggi dari yang lainnya yang kadang-kadang disaksikan oleh masyarakat luas. Ada tiga hal yang perlu disadari dan disamakan oleh legislatif dan eksekutif dalam menyikapi berbagai perbedaan yaitu pola pikir, pola sikap dan pola tindak.
Sebagai konsekuensi diberlakukannya UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik dan UU No. 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum sebagai Tuntutan Fundamental Reformasi lahirlah Pemilihan Umum secara multipartai yang diikuti partai politik. Lahir pula lembaga legislatif (termasuk DPRD) yang merupakan representasi dari partai politik peserta pemilu dengan kemampuan yang beragam. Banyak pakar yang berpendapat bahwa kapabilitas dan kredibilitas anggota DPRD tidak merata bahkan ada yang kurang memahami tentang pemerintahan, dan dinilai ada pihak yang berorientasi menuntut haknya namun kurang memperhatikan apa saja yang menjadi kewajibannya.

b. Perangkat Daerah
Dengan bergesernya paradigma sentralisasi menjadi desentralisasi, dimana otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab difokuskan di daerah kabupaten dan kota, sedangkan otonomi terbatas difokuskan di daerah Propinsi, kenyataan ini menuntut adanya perubahan yang mendasar dalam tatanan organisasi Pemerintah Daerah. Dengan luasnya otonomi daerah di daerah kabupaten dan kota, mengharuskan daerah untuk melakukan restrukturisasi kelembagaan Pemerintah Daerah sesuai dengan Undang-undang No. 22 Tahun 1999, yakni mulai perangkat desa yaitu unsure staf di lingkungan Pemerintah Daerah yang membantu Kepala Daerah dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari. Perangkat daerah terdiri dari sekretariat daerah, dinas daerah dan Lembaga Teknis Daerah lainnya seperti Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah, Lembaga Pengawasan Daerah, Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah dan lain-lain.

c. Partisipasi Masyarakat
Sebagai dampak dari agenda reformasi nasional dan pengaruh isu global terutama demokratisasi dan hak asasi manusia, masyarakat semakin memahami akan haknya sebagai warga negara. Namun ada kecenderungan mereka kurang memahami akan kewajibannya. Masyarakat makin kritis, reaktif dan proaktif dalam menuntut hak-haknya kepada pemerintah, namun kurang mau mengerti apa yang menjadi kesulitan dan/atau permasalahan yang dihadapi pemerintah termasuk PemerintahDaerah. Kondisi ini merupakan suatu realita yang terjadi di seluruh pelosok tanah air dan realitas ini dapat dipahami sebagai refleksi dinamika demokratisasi yang berorientasi pada kebebasan tanpa didasari etika nilai budaya bangsa yang terakomodasi di dalam Pancasila.

d. Potensi Disintegrasi
Masalah lain yang dapat dipandang sebagai potensi dalam pelaksanaan otoda antara lain:
1) Arogansi sektoral
Disintegrasi dapat juga terjadi karena beberapa daerah cenderung eksklusif, mementingkan daerahnya sendiri tanpa memperhatikan kepentingan daerah lain, termasuk kepentingan pemerintah pusat.
2) Perbedaan Sumber Daya
Sebagian daerah punya potensi sumber daya/kekayaan alamnya yang berlimpah / berlebih, sehingga daerah-daerah tersebut mampu menyelenggarakan pemerintahan dengan tingkat kesejahteraan masyarakatnya yang tinggi. Hal ini dimungkinkan karena hasil sumber daya alam dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) nya melebihi kebutuhan biaya penyelenggaraan pemerintah

2.3 Meluruskan, Mengamankan dan Memberdayakan OTDA dalam Mencegah Disintegrasi
Membangun dan mempertahankan integrasi nasional adalah unfinished agenda yang dilaksanakan dengan membangun dan menghidupkan komitmen untuk bersatu, membangun jiwa musyawarah dalam kerangka demokrasi, membangun kelembagaan yang menyuburkan persatuan dan kesatuan, merumuskan regulasi dan undang-undang yang konkrit, serta membutuhkan kepemimpinan yang arif dan efektif. Untuk melakukannya diperlukan konsistensi yang arif dan efektif, kesungguhan dan sekaligus kesabaran. Agar upaya pembinaan (yang tidak hanya dilakukan oleh pemerintah) ini efektif dan berhasil, diperlukan pula tatanan, perangkat dan kebijakan yang tepat. kerangka yang sebaiknya dibangun dalam upaya memperkukuh integrasi nasional dapat dituangkan dalam langkah sebagai berikut .
a. Membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu. Perjalanan panjang masa Indonesia untuk menyatukan dirinya, sebutlah mulai Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi Kemerdekaan 1945 dan rangkaian upaya menumpas pemberontakan dan separatisme harus terus dihadirkan dalam hati sanubari dan amal pikiran bangsa Indonesia.
b. Menciptakan kondisi yang mendukung komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu dan membiasakan diri untuk selalu membangun konsensus. Kompromi dan kesepakatan adalah jiwa musyawarah dan sesungguhnya juga demokrasi. Bagi Indonesia yang amat majemuk, iklim dan budaya demikian amat diperlukan. Yang kita tuju adalah harmoni dan hubungan simetris, dan bukan hegemoni. Oleh karena itu premis yang mengatakan “The minority has its say, the majority has its way”, harus kita pahami secara arif dan kontekstual.
c. Membangun kelembagaan (pranata) yang berakarkan nilai dan norma yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa. Membangun integrasi nasional tidak hanya dilakukan secara struktural tetapi juga kultural. Pranata ini kelak harus mampu membangun mekanisme peleraian konflik (conflict management) guna mencegah kecenderungan langkah-langkah yang represif untuk menyelesaikan konflik dan represif approach digunakan jika persuasive approach dinyatakan gagal.
d. Sangat disadari berbagai saran dan upaya perbaikan (revisi) terhadap berbagai hal (pasal) krusial dari UU No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Otonomi Daerah diharapkan nantinya akan mampu mengatasi berbagai kendala dan keterbatasannya, sehingga dapat memberikan perhatian lebih besar terhadap berbagai kemungkinan terjadinya konflik yang berujung pada disintegrasi bangsa.
e. Upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan kepemimpinan yang arif dan efektif. Setiap pemimpin di negeri ini, baik formal maupun non formal, harus memiliki kepekaan dan kepedulian yang tinggi, serta upaya yang sungguh-sungguh untuk terus membina dan memantapkan integrasi nasional kita. Kiranya apapun yang terjadi maka NKRI harus dipertahankan.










BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
a. Beberapa milik bangsa yang hilang akibat efaria reformasi (rasa kebanggaan, kepercayaan, rasa aman, rasa hormat) harus dibangun kembali dengan upaya yang keras dari seluruh bangsa
b. Disintegrasi bangsa, separatisme merupakan permasalahan kompleks akibat akumulasi permasalahan politik, ekonomi dan keamanan yang saling tumpang tindih. Dengan demikian diperlukan penanganan khusus dengan pendekatan yang arif namun tegas walaupun aspek hukum, keadilan dan sosial budaya merupakan faktor berpengaruh dan perlu pemikiran tersendiri.
c. Pemberlakuan UU No. 22/1999 tentang otonomi daerah merupakan implikasi positif bagi masa depan pemerintahan Daerah di Indonesia. Ada potensi untuk menciptakan pengentalan heterogenitas dibidang SARA dan dapat berdampak pada suatu konflik yang pada akhirnya berpotensi untuk memisahkan diri dari Indonesia.
d. Berbagai masalah yang timbul dalam berbagai aspek kehidupan, berpeluang untuk direkayasa menjadi permasalahan dan dipermasalahkan oleh pihak tertentu dengan sasaran tejadinya instabilitas yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Dengan otonomi daerah, jalur lebih pendek, aparat terkait diharapkan akan lebih peka dan cepat mengatasinya.
e. Kepemimpinan (leadership) dari tingkat elite politik nasional sampai kepemimpinan daerah, sangat menentukan dalam rangka meredam konflik pada stadium dini.
3.2 Saran
1. bagi pemerintah, memberikan perlindungan hukum terhadap kebijakan desentralisasi/OTDA kepada daerah supaya tidak adanya diskriminasi antar daerah yang satu dengan yang lainnya.
2. bagi daerah, mampu mengembangkan dan mengolah potensi daerah/kekayaan daerah yang dimikiki agar mampu meningkatkan taraf hidup masyarakatnya.
3. Bagi masyarakat, agar dapat memberikan konstribusi terhadap pembangunan daerahnya.

DAPTAR FUSTAKA


HB. Amiruddin Maula, Drs, SH. Msi. 2001. “Menjaga Kepentingan Nasional Melalui Pelaksanaan Otonomi Daerah Guna Mencegah Terjadinya Disintegrasi Bangsa, Jakarta, Lemhannas 2001.

http://antrounair.wordpress.com/2008/08/11/transformasi-birokrasi-lokal-dan permasalahannya - reformasi - dan - otonomi-daerah/
http://www.immunk.com/post/makalah+otonomi+daerah+dan+permasalahannya.html
http://www.docstoc.com/docs/1825094/Pengaruh-Kebijakan-Otonomi-Daerah-Implementasi-dan-Permasalahannya-terhadap-Pembangunan-Nasional
http://www.slideshare.net/DadangSolihin/penguatan-otonomi-daerah-dalam-rangka-memperkokoh-nkri
http://informasiteknologi.com/2011/otonomi+daerah+dan+permasalahannya+budaya+wikipedia+pendidikan.html
http://openlibrary.org/books/OL3607446M/Strategi_resolusi_kebijakan_dan_implementasi_otonomi_daerah_dalam_kerangka_good_governance_di_Indonesia

PERANAN OTONOMI DAERAH DALAM MENCEGAH DISINTEGRASI BANGSA

PERANAN OTONOMI DAERAH
DALAM MENCEGAH DISINTEGRASI BANGSA





Oleh :
I WAYAN MIYASA
0714041020
A






JURUSAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2011
BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah
Kebijaksanaan desentralisasi yang tertuang dalam Undang-Undang No. 22 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999, merupakan strategi baru dalam memasuki era globalisasi dan perdagangan bebas. Kedua Undang-Undang tersebut, diharapkan dapat mengembangkan kehidupan demokrasi, peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat, serta terpeliharanya nilai-nilai keanekaragaman daerah. Adanya kekhawatiran bakal timbulnya disintegrasi apabila kewenangan otonomi
daerah secara luas, adalah tidak mendasar dan tidak relevan lagi.Beberapa tahun reformasi, berbagai elemen bangsa bak lepas kendali. Kerinduan untuk bebas berbicara yang selama ini sulit diperoleh, pada era reformasi ini betul betul dinikmati habis habisan. Tidak jelas apakah sekelompok orang itu menyanyi atau berpidato, terkadang yang terdengar mirip-mirip sumpah serapah. Hiruk pikuk sekali.
Atas nama keadilan, demokrasi dan HAM , berbagai rambu kehidupan pun sering diterjang. Dan ketika pesta gegap gempita mulai mereda, kelelahan, dan kesadaranpun mulai muncul kembali dan pikiran jernih mulai berbicara. Kita terperangah ketika mengetahui terlanjur banyak sudah yang hilang dari bangsa ini. Kepercayaan antar elemen bangsa. Kebanggaan sebagai bangsa yang ramah. Rasa kebangsaan yang terasa semakin tergerus. Rasa aman tanpa tawuran dan bom. Serta rasa-rasa lain yang hilang begitu cepat. Termasuk rasa hormat pada yang dituakan dan pejabat negara.
Disintegrasi bangsa yang menghantui negeri ini bisa muncul dari berbagai sumber. Kebhinekaan yang dianggap sebagai kekayaan bangsa, baik dari segi etnik yang berjumlah puluhan, budaya, bahasa, adat istiadat, agama serta berbagai kepercayaan yang ada, ternyata mempunyai sisi yang rawan berupa potensi perpecahan yang implikasinya bisa sangat luas dan mendalam. Artinya, celah peluang sekecil apapun dapat disalahgunakan untuk maksud - maksud yang merugikan integritas wilayah NKRI.
Otonomi daerah seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 dapat dipandang dari mempunyai dua sisi yang berbeda. Manfaat atau tidaknya otoda bagi kemaslahatan bangsa akan sangat bergantung pada bagaimanan cara kita
memperlakukannya.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari latar belakang diatas yaitu :
1. Bagaimanakah dasar pemikiran tentang OTDA dan proses terjadinya disintegrasi bangsa ?
2. Bagaimana analisis pelaksanaan otonomi daerah terhadap stabilitas ?
3. Bagaimanakah cara Meluruskan, mengamankan dan memberdayakan otoda dalam mencegah disintegrasi.
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu :
1. Untuk mengetahui dasar pemikiran OTDA dan proses terjadinya disintegrasi bangsa.
2. Untuk mengetahui analisis pelaksanaan otonomi daerah terhadap stabilitas.
3. Untuk mengetahui cara Meluruskan, mengamankan dan memberdayakan otoda dalam mencegah disintegrasi.
1.4 Manfaat
Manfaat dari pembuatan makalah ini yaitu, dengan mempelajari peranan OTDA dalam mencegah disintegrasi bangsa diharapkan bagi seluruh lapisan masyarakat mampu melaksanakan OTDA sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karena, OTDA akan memberikan dampak posiif maupun negatif terhadap daerah-daerah di Indonesia.
1.5 Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, metode yang peneliti gunakan yaitu mencari sumber dari beberapa artikel/literature-literatur di internet, kemudian menyimpulkannya kedalam bentuk makalah ini.









BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Dasar pemikiran OTDA dan Proses Terjadinya Disintegrasi Bangsa
a. Fenomena Disintegrasi Bangsa
Kekhawatiran tentang perpecahan (disintegrasi) bangsa, berangkat dari kondisi tanah air dewasa ini yang dihadapkan pada konflik dan pertikaian. Berbagai akumulasi masalah sosial yang terpendam dimasa lalu, saat ini muncul dalam bentuk yang bisa berbeda satu sama lain. Asalkan ada sedikit saja pemicunya, persoalan yang sepele pun dengan cepat bisa meledak, menyebar dan meluas secara cepat.
Seiring dengan itu lahir sejumlah tuntutan daerah-daerah diluar Jawa agar mendapatkan otonomi yang lebih luas atau malahan tuntutan untuk merdeka. Hal-hal tersebut semakin menambah parah situasi. Separatis GAM dan OPM yang memasang harga mati bagi kemerdekaannya merupakan contoh kasus yang perlu ditanggulangi.
Paham dan gerakan separatis ingin memisahkan diri dari NKRI ini. Eksistensinya akan sangat bergantung pada situasi, dan kalau diamati lebih jauh maka penyebab yang melatarbelakangi hal tsb, antara lain : kadar cinta tanah air (patriotisme dan nasionalisme) yang kurang/tipis, sakit hati, frustrasi, balas dendam, kesenjangan, iri hati dan ketidaksetujuan/kontra dengan pihak pemerintah. Atau mungkin bahkan karena provokasi pihak asing.

b. Fenomena Kebebasan
Kebebasan dalam era globalisasi dewasa ini merupakan kata ampuh yang digunakan dalam fora nasional dan internasional. Dalam hubungan antar bangsa implikasinya lebih luas lagi, digunakan dalam ajang perebutan pengaruh dan kekuasaan ekonomi, politik, budaya dan berbagai kepentingan lain baik dalam skala domestik maupun skala internasional.
Atas dasar kebebasan, berbagai legalitas dan nilai hukum dipertanyakan. Dekonstruksi terhadap produk pemikiran mencuat ke permukaan dan merupakan model kecenderungan baru. Eksistensi dan otoritas hakhak tradisional, eksistensi pemerintah dicurigai, anti kemapanan pun menjadi isu politik. Kebebasan tanpa kendali cenderung melahirkan berbagai kekisruhan politik dan disorientasi nilai.

 Proses Terjadinya Disintegrasi Bangsa
Disintegrasi bangsa dapat terjadi karena adanya konflik vertikal atau konflik horizontal serta konflik komunal sebagai akibat tuntutan demokratisasi yang melampaui batas, sikap primordialisme bernuansa SARA, konflik antar elite politik, lambatnya pemulihan ekonomi, lemahnya penegakan hukum dan HAM serta ketidaksiapan pelaksanaan otonomi daerah.
a. Tuntutan demokratisasi yang melampaui batas
Reformasi yang semangatnya adalah melakukan rekonstruksi penyelenggaraan pemerintahan yang lebih demokratis, serta untuk membentuk pemerintahan yang legitimate, dalam kenyataannya sekian tahun pemerintahan reformasi berjalan belum mampu menyelesaikan berbagai masalah, termasuk agenda reformasi yang dicanangkannya. Kondisi stabilitas keamanan nasional boleh dikatakan telah mencapai kondisi yang sangat memprihatinkan. Implikasi dari semangat reformasi telah menimbulkan kerugian besar baik materiil maupun imateriil. Ekses negatif dari proses reformasi dapat dilihat dari makin merebaknya tindak kekerasan, anarkisme, serta diabaikannya etika dan moral. Selain itu lemahnya penegakan hukum telah menurunkan kepercayaan.

b. Sikap primordialisme sempit bernuansa SARA
Kemajemukan bangsa yang terdiri dari berbagai suku, agama, adat, bahasa dan budaya disatu sisi merupakan kekayaan bangsa dan negara yang tidak ternilai harganya. Namun disisi lain kemajemukan bangsa sarat dan rentan dengan konflik yang dapat mengganggu keamanan. Konflik sosial bernuansakan SARA selama ini seperti yang terjadi di Maluku, Sampit dan lain sebagainya menunjukkan rapuhnya rasa kebangsaan dan semangat solidaritas sosial. Benturan antar suku asli daerah dengan suku pendatang terjadi akibat adanya rasa kesukuan yang berlebihan yang berdampak kepada ketidaksukaan kepada suku lainnya, baik karena kecemburuan sosial ataupun tidak dapat menerima sikap dan perilaku suku lainnya yang dianggap tidak sesuai ataupun tidak pantas bagi adat dan budaya setempat. Hal itu menjadi faktor dan sumber gangguan keamanan yang sampai saat ini masih dicari cara penyelesaiannya yang efektif. Oleh karena itu apabila semangat primordialisme yang bernuansakan SARA tidak diwaspadai maka stabilitas keamanan nasional akan terus mengalami krisis yang berkelanjutan.

c. Fanatisme agama yang berlebihan
Fanatisme agama pada dasarnya adalah sesuatu yang wajar bila dikaitkan dengan keimanan dan ketakwaan. Akan tetapi bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai agama acapkali sangat mudah tersulut oleh permasalahan SARA dengan latar belakang agama. Agama Islam yang memiliki penganut terbesar di Indonesia tentu menjadi kunci dalam kerukunan kehidupan umat beragama dan antar agama. Sebab toleransi dan tenggang rasa dari umat Islam akan dapat memberikan kesejukan dalam hubungan antara agama dan sebaliknya sikap fanatisme yang sempit akan dapat menghancurkan kerukunan kehidupan umat beragama dan antar agama.

d. Konflik Antar elite politik
Lebih dari 25 tahun setiap Pemilu hanya diikuti 3 kontestan yaitu dua Partai Politik dan satu Golongan Karya. Dengan diundangkannya UU No. 2/1999 tentang Partai Politik, telah memberikan implikasi yang cukup signifikan yaitu dalam Pemilu 1999 diikuti 48 Partai Politik, sedangkan dalam Pemilu 2004 mendatang, 24 partai akan berlaga. Dengan semakin baiknya kehidupan berdemokrasi, logikanya tahun 1999 dengan banyak partai politik yang mengatasnamakan demokrasi akan menghasilkan kondisi berbangsa dan bernegara jadi lebih baik, namun kenyataan dilapangan justru sebaliknya banyak dijumpai terjadinya pelanggaran hukum, pelanggaran hak asasi manusia, bahkan semakin terlihat adanya pelanggaran etika dan moral.

e. Lambatnya Pemulihan Ekonomi
Meskipun telah dilakukan upaya untuk mengatasi krisis ekonomi, tetapi hasilnya belum memadai. Lambatnya proses pemulihan ekonomi ini terutama disebabkan oleh tiga faktor :
1) Tidak adanya sense of crisis dari penyelenggara negara serta tidak jelasnya prioritas penyelesaian resesi.
2) Penyelenggaraan negara dibidang ekonomi yang terpusat dengan campur tangan pemerintah yang terlalu besar telah mengakibatkan mekanisme pasar tidak berfungsi secara efektif.
3) Kesenjangan ekonomi antara pusat dan daerah, antar daerah, antar pelaku, dan antar golongan telah memicu kerawanan sosial dan keamanan apalagi lambatnya pemulihan ekonomi mengakibatkan pengangguran meningkat hingga ±36 juta orang, meningkatnya kriminalitas dan frustrasi sosial yang mengarah pada kecemburuan sosial ekonomi.

f. Lemahnya Penegakan Hukum dan HAM
Untuk mewujudkan kesatuan bangsa yang kokoh salah satu agenda penting saat ini adalah penegakan supremasi hukum. Penegakan hukum harus mencakup aspek budaya hukum, penyempurnaan dan pembaharuan substansi hokum. Selain itu juga dilakukan pembenahan dan penataan lembaga penegak hukum agar terwujud kewibawaan hukum. Lemahnya penegakan hukum dan HAM saat ini bukan hanya semakin menipiskan kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah namun juga menjadi sorotan dunia internasional. Oleh karena itu keberhasilan penegakan hukum dan pemulihan citra penegakan HAM akan mengurangi ketegangan dan gejolak di daerah, sehingga terwujud stabilitas keamanan nasional.

2.2 Analisis Pelaksanaan Otonomi Daerah terhadap stabilitas
Dalam era transisi kebijakan sentralistik ke desentralistik demokratis yang dituju dalam pemerintahan nasional sebagaimana ditandai dengan diberlakukannya Otonomi daerah sesuai dengan Undang-undang No. 22 tahun 1999 sejak tanggal 1 Januari 2001, memang masih ditemui kendala-kendala yang perlu diatasi. Dari sekian kendala terdapat permasalahan yang mengandung potensi instabilitas yang dapat mengarah kepada melemahnya ketahanan nasional di daerah bahkan dapat memicu terjadinya disintegrasi bangsa bila tidak segera diatasi. Hal itu antara lain :

a. Masalah hubungan antara DPRD dan Kepala Daerah
Walaupun Kepala Daerah dalam kedudukan sebagai Badan Eksekutif Daerah bertanggung jawab kepada DPRD, namun DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah tetap merupakan partner (mitra) dari dan berkedudukan sejajar dengan Pemerintah Daerah c.q. Kepala Daerah. Masalah seperti ini pun sangat terasa di Pusat. Kesan memposisikan diri lebih kuat, lebih tinggi dari yang lainnya yang kadang-kadang disaksikan oleh masyarakat luas. Ada tiga hal yang perlu disadari dan disamakan oleh legislatif dan eksekutif dalam menyikapi berbagai perbedaan yaitu pola pikir, pola sikap dan pola tindak.
Sebagai konsekuensi diberlakukannya UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik dan UU No. 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum sebagai Tuntutan Fundamental Reformasi lahirlah Pemilihan Umum secara multipartai yang diikuti partai politik. Lahir pula lembaga legislatif (termasuk DPRD) yang merupakan representasi dari partai politik peserta pemilu dengan kemampuan yang beragam. Banyak pakar yang berpendapat bahwa kapabilitas dan kredibilitas anggota DPRD tidak merata bahkan ada yang kurang memahami tentang pemerintahan, dan dinilai ada pihak yang berorientasi menuntut haknya namun kurang memperhatikan apa saja yang menjadi kewajibannya.

b. Perangkat Daerah
Dengan bergesernya paradigma sentralisasi menjadi desentralisasi, dimana otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab difokuskan di daerah kabupaten dan kota, sedangkan otonomi terbatas difokuskan di daerah Propinsi, kenyataan ini menuntut adanya perubahan yang mendasar dalam tatanan organisasi Pemerintah Daerah. Dengan luasnya otonomi daerah di daerah kabupaten dan kota, mengharuskan daerah untuk melakukan restrukturisasi kelembagaan Pemerintah Daerah sesuai dengan Undang-undang No. 22 Tahun 1999, yakni mulai perangkat desa yaitu unsure staf di lingkungan Pemerintah Daerah yang membantu Kepala Daerah dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari. Perangkat daerah terdiri dari sekretariat daerah, dinas daerah dan Lembaga Teknis Daerah lainnya seperti Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah, Lembaga Pengawasan Daerah, Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah dan lain-lain.

c. Partisipasi Masyarakat
Sebagai dampak dari agenda reformasi nasional dan pengaruh isu global terutama demokratisasi dan hak asasi manusia, masyarakat semakin memahami akan haknya sebagai warga negara. Namun ada kecenderungan mereka kurang memahami akan kewajibannya. Masyarakat makin kritis, reaktif dan proaktif dalam menuntut hak-haknya kepada pemerintah, namun kurang mau mengerti apa yang menjadi kesulitan dan/atau permasalahan yang dihadapi pemerintah termasuk PemerintahDaerah. Kondisi ini merupakan suatu realita yang terjadi di seluruh pelosok tanah air dan realitas ini dapat dipahami sebagai refleksi dinamika demokratisasi yang berorientasi pada kebebasan tanpa didasari etika nilai budaya bangsa yang terakomodasi di dalam Pancasila.

d. Potensi Disintegrasi
Masalah lain yang dapat dipandang sebagai potensi dalam pelaksanaan otoda antara lain:
1) Arogansi sektoral
Disintegrasi dapat juga terjadi karena beberapa daerah cenderung eksklusif, mementingkan daerahnya sendiri tanpa memperhatikan kepentingan daerah lain, termasuk kepentingan pemerintah pusat.
2) Perbedaan Sumber Daya
Sebagian daerah punya potensi sumber daya/kekayaan alamnya yang berlimpah / berlebih, sehingga daerah-daerah tersebut mampu menyelenggarakan pemerintahan dengan tingkat kesejahteraan masyarakatnya yang tinggi. Hal ini dimungkinkan karena hasil sumber daya alam dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) nya melebihi kebutuhan biaya penyelenggaraan pemerintah

2.3 Meluruskan, Mengamankan dan Memberdayakan OTDA dalam Mencegah Disintegrasi
Membangun dan mempertahankan integrasi nasional adalah unfinished agenda yang dilaksanakan dengan membangun dan menghidupkan komitmen untuk bersatu, membangun jiwa musyawarah dalam kerangka demokrasi, membangun kelembagaan yang menyuburkan persatuan dan kesatuan, merumuskan regulasi dan undang-undang yang konkrit, serta membutuhkan kepemimpinan yang arif dan efektif. Untuk melakukannya diperlukan konsistensi yang arif dan efektif, kesungguhan dan sekaligus kesabaran. Agar upaya pembinaan (yang tidak hanya dilakukan oleh pemerintah) ini efektif dan berhasil, diperlukan pula tatanan, perangkat dan kebijakan yang tepat. kerangka yang sebaiknya dibangun dalam upaya memperkukuh integrasi nasional dapat dituangkan dalam langkah sebagai berikut .
a. Membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu. Perjalanan panjang masa Indonesia untuk menyatukan dirinya, sebutlah mulai Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi Kemerdekaan 1945 dan rangkaian upaya menumpas pemberontakan dan separatisme harus terus dihadirkan dalam hati sanubari dan amal pikiran bangsa Indonesia.
b. Menciptakan kondisi yang mendukung komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu dan membiasakan diri untuk selalu membangun konsensus. Kompromi dan kesepakatan adalah jiwa musyawarah dan sesungguhnya juga demokrasi. Bagi Indonesia yang amat majemuk, iklim dan budaya demikian amat diperlukan. Yang kita tuju adalah harmoni dan hubungan simetris, dan bukan hegemoni. Oleh karena itu premis yang mengatakan “The minority has its say, the majority has its way”, harus kita pahami secara arif dan kontekstual.
c. Membangun kelembagaan (pranata) yang berakarkan nilai dan norma yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa. Membangun integrasi nasional tidak hanya dilakukan secara struktural tetapi juga kultural. Pranata ini kelak harus mampu membangun mekanisme peleraian konflik (conflict management) guna mencegah kecenderungan langkah-langkah yang represif untuk menyelesaikan konflik dan represif approach digunakan jika persuasive approach dinyatakan gagal.
d. Sangat disadari berbagai saran dan upaya perbaikan (revisi) terhadap berbagai hal (pasal) krusial dari UU No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Otonomi Daerah diharapkan nantinya akan mampu mengatasi berbagai kendala dan keterbatasannya, sehingga dapat memberikan perhatian lebih besar terhadap berbagai kemungkinan terjadinya konflik yang berujung pada disintegrasi bangsa.
e. Upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan kepemimpinan yang arif dan efektif. Setiap pemimpin di negeri ini, baik formal maupun non formal, harus memiliki kepekaan dan kepedulian yang tinggi, serta upaya yang sungguh-sungguh untuk terus membina dan memantapkan integrasi nasional kita. Kiranya apapun yang terjadi maka NKRI harus dipertahankan.










BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
a. Beberapa milik bangsa yang hilang akibat efaria reformasi (rasa kebanggaan, kepercayaan, rasa aman, rasa hormat) harus dibangun kembali dengan upaya yang keras dari seluruh bangsa
b. Disintegrasi bangsa, separatisme merupakan permasalahan kompleks akibat akumulasi permasalahan politik, ekonomi dan keamanan yang saling tumpang tindih. Dengan demikian diperlukan penanganan khusus dengan pendekatan yang arif namun tegas walaupun aspek hukum, keadilan dan sosial budaya merupakan faktor berpengaruh dan perlu pemikiran tersendiri.
c. Pemberlakuan UU No. 22/1999 tentang otonomi daerah merupakan implikasi positif bagi masa depan pemerintahan Daerah di Indonesia. Ada potensi untuk menciptakan pengentalan heterogenitas dibidang SARA dan dapat berdampak pada suatu konflik yang pada akhirnya berpotensi untuk memisahkan diri dari Indonesia.
d. Berbagai masalah yang timbul dalam berbagai aspek kehidupan, berpeluang untuk direkayasa menjadi permasalahan dan dipermasalahkan oleh pihak tertentu dengan sasaran tejadinya instabilitas yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Dengan otonomi daerah, jalur lebih pendek, aparat terkait diharapkan akan lebih peka dan cepat mengatasinya.
e. Kepemimpinan (leadership) dari tingkat elite politik nasional sampai kepemimpinan daerah, sangat menentukan dalam rangka meredam konflik pada stadium dini.
3.2 Saran
1. bagi pemerintah, memberikan perlindungan hukum terhadap kebijakan desentralisasi/OTDA kepada daerah supaya tidak adanya diskriminasi antar daerah yang satu dengan yang lainnya.
2. bagi daerah, mampu mengembangkan dan mengolah potensi daerah/kekayaan daerah yang dimikiki agar mampu meningkatkan taraf hidup masyarakatnya.
3. Bagi masyarakat, agar dapat memberikan konstribusi terhadap pembangunan daerahnya.

DAPTAR FUSTAKA


HB. Amiruddin Maula, Drs, SH. Msi. 2001. “Menjaga Kepentingan Nasional Melalui Pelaksanaan Otonomi Daerah Guna Mencegah Terjadinya Disintegrasi Bangsa, Jakarta, Lemhannas 2001.

http://antrounair.wordpress.com/2008/08/11/transformasi-birokrasi-lokal-dan permasalahannya - reformasi - dan - otonomi-daerah/
http://www.immunk.com/post/makalah+otonomi+daerah+dan+permasalahannya.html
http://www.docstoc.com/docs/1825094/Pengaruh-Kebijakan-Otonomi-Daerah-Implementasi-dan-Permasalahannya-terhadap-Pembangunan-Nasional
http://www.slideshare.net/DadangSolihin/penguatan-otonomi-daerah-dalam-rangka-memperkokoh-nkri
http://informasiteknologi.com/2011/otonomi+daerah+dan+permasalahannya+budaya+wikipedia+pendidikan.html
http://openlibrary.org/books/OL3607446M/Strategi_resolusi_kebijakan_dan_implementasi_otonomi_daerah_dalam_kerangka_good_governance_di_Indonesia
PERANAN OTONOMI DAERAH
DALAM MENCEGAH DISINTEGRASI BANGSA





Oleh :
I WAYAN MIYASA
0714041020
A






JURUSAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2011
BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah
Kebijaksanaan desentralisasi yang tertuang dalam Undang-Undang No. 22 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999, merupakan strategi baru dalam memasuki era globalisasi dan perdagangan bebas. Kedua Undang-Undang tersebut, diharapkan dapat mengembangkan kehidupan demokrasi, peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat, serta terpeliharanya nilai-nilai keanekaragaman daerah. Adanya kekhawatiran bakal timbulnya disintegrasi apabila kewenangan otonomi
daerah secara luas, adalah tidak mendasar dan tidak relevan lagi.Beberapa tahun reformasi, berbagai elemen bangsa bak lepas kendali. Kerinduan untuk bebas berbicara yang selama ini sulit diperoleh, pada era reformasi ini betul betul dinikmati habis habisan. Tidak jelas apakah sekelompok orang itu menyanyi atau berpidato, terkadang yang terdengar mirip-mirip sumpah serapah. Hiruk pikuk sekali.
Atas nama keadilan, demokrasi dan HAM , berbagai rambu kehidupan pun sering diterjang. Dan ketika pesta gegap gempita mulai mereda, kelelahan, dan kesadaranpun mulai muncul kembali dan pikiran jernih mulai berbicara. Kita terperangah ketika mengetahui terlanjur banyak sudah yang hilang dari bangsa ini. Kepercayaan antar elemen bangsa. Kebanggaan sebagai bangsa yang ramah. Rasa kebangsaan yang terasa semakin tergerus. Rasa aman tanpa tawuran dan bom. Serta rasa-rasa lain yang hilang begitu cepat. Termasuk rasa hormat pada yang dituakan dan pejabat negara.
Disintegrasi bangsa yang menghantui negeri ini bisa muncul dari berbagai sumber. Kebhinekaan yang dianggap sebagai kekayaan bangsa, baik dari segi etnik yang berjumlah puluhan, budaya, bahasa, adat istiadat, agama serta berbagai kepercayaan yang ada, ternyata mempunyai sisi yang rawan berupa potensi perpecahan yang implikasinya bisa sangat luas dan mendalam. Artinya, celah peluang sekecil apapun dapat disalahgunakan untuk maksud - maksud yang merugikan integritas wilayah NKRI.
Otonomi daerah seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 dapat dipandang dari mempunyai dua sisi yang berbeda. Manfaat atau tidaknya otoda bagi kemaslahatan bangsa akan sangat bergantung pada bagaimanan cara kita
memperlakukannya.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari latar belakang diatas yaitu :
1. Bagaimanakah dasar pemikiran tentang OTDA dan proses terjadinya disintegrasi bangsa ?
2. Bagaimana analisis pelaksanaan otonomi daerah terhadap stabilitas ?
3. Bagaimanakah cara Meluruskan, mengamankan dan memberdayakan otoda dalam mencegah disintegrasi.
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu :
1. Untuk mengetahui dasar pemikiran OTDA dan proses terjadinya disintegrasi bangsa.
2. Untuk mengetahui analisis pelaksanaan otonomi daerah terhadap stabilitas.
3. Untuk mengetahui cara Meluruskan, mengamankan dan memberdayakan otoda dalam mencegah disintegrasi.
1.4 Manfaat
Manfaat dari pembuatan makalah ini yaitu, dengan mempelajari peranan OTDA dalam mencegah disintegrasi bangsa diharapkan bagi seluruh lapisan masyarakat mampu melaksanakan OTDA sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karena, OTDA akan memberikan dampak posiif maupun negatif terhadap daerah-daerah di Indonesia.
1.5 Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, metode yang peneliti gunakan yaitu mencari sumber dari beberapa artikel/literature-literatur di internet, kemudian menyimpulkannya kedalam bentuk makalah ini.









BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Dasar pemikiran OTDA dan Proses Terjadinya Disintegrasi Bangsa
a. Fenomena Disintegrasi Bangsa
Kekhawatiran tentang perpecahan (disintegrasi) bangsa, berangkat dari kondisi tanah air dewasa ini yang dihadapkan pada konflik dan pertikaian. Berbagai akumulasi masalah sosial yang terpendam dimasa lalu, saat ini muncul dalam bentuk yang bisa berbeda satu sama lain. Asalkan ada sedikit saja pemicunya, persoalan yang sepele pun dengan cepat bisa meledak, menyebar dan meluas secara cepat.
Seiring dengan itu lahir sejumlah tuntutan daerah-daerah diluar Jawa agar mendapatkan otonomi yang lebih luas atau malahan tuntutan untuk merdeka. Hal-hal tersebut semakin menambah parah situasi. Separatis GAM dan OPM yang memasang harga mati bagi kemerdekaannya merupakan contoh kasus yang perlu ditanggulangi.
Paham dan gerakan separatis ingin memisahkan diri dari NKRI ini. Eksistensinya akan sangat bergantung pada situasi, dan kalau diamati lebih jauh maka penyebab yang melatarbelakangi hal tsb, antara lain : kadar cinta tanah air (patriotisme dan nasionalisme) yang kurang/tipis, sakit hati, frustrasi, balas dendam, kesenjangan, iri hati dan ketidaksetujuan/kontra dengan pihak pemerintah. Atau mungkin bahkan karena provokasi pihak asing.

b. Fenomena Kebebasan
Kebebasan dalam era globalisasi dewasa ini merupakan kata ampuh yang digunakan dalam fora nasional dan internasional. Dalam hubungan antar bangsa implikasinya lebih luas lagi, digunakan dalam ajang perebutan pengaruh dan kekuasaan ekonomi, politik, budaya dan berbagai kepentingan lain baik dalam skala domestik maupun skala internasional.
Atas dasar kebebasan, berbagai legalitas dan nilai hukum dipertanyakan. Dekonstruksi terhadap produk pemikiran mencuat ke permukaan dan merupakan model kecenderungan baru. Eksistensi dan otoritas hakhak tradisional, eksistensi pemerintah dicurigai, anti kemapanan pun menjadi isu politik. Kebebasan tanpa kendali cenderung melahirkan berbagai kekisruhan politik dan disorientasi nilai.

 Proses Terjadinya Disintegrasi Bangsa
Disintegrasi bangsa dapat terjadi karena adanya konflik vertikal atau konflik horizontal serta konflik komunal sebagai akibat tuntutan demokratisasi yang melampaui batas, sikap primordialisme bernuansa SARA, konflik antar elite politik, lambatnya pemulihan ekonomi, lemahnya penegakan hukum dan HAM serta ketidaksiapan pelaksanaan otonomi daerah.
a. Tuntutan demokratisasi yang melampaui batas
Reformasi yang semangatnya adalah melakukan rekonstruksi penyelenggaraan pemerintahan yang lebih demokratis, serta untuk membentuk pemerintahan yang legitimate, dalam kenyataannya sekian tahun pemerintahan reformasi berjalan belum mampu menyelesaikan berbagai masalah, termasuk agenda reformasi yang dicanangkannya. Kondisi stabilitas keamanan nasional boleh dikatakan telah mencapai kondisi yang sangat memprihatinkan. Implikasi dari semangat reformasi telah menimbulkan kerugian besar baik materiil maupun imateriil. Ekses negatif dari proses reformasi dapat dilihat dari makin merebaknya tindak kekerasan, anarkisme, serta diabaikannya etika dan moral. Selain itu lemahnya penegakan hukum telah menurunkan kepercayaan.

b. Sikap primordialisme sempit bernuansa SARA
Kemajemukan bangsa yang terdiri dari berbagai suku, agama, adat, bahasa dan budaya disatu sisi merupakan kekayaan bangsa dan negara yang tidak ternilai harganya. Namun disisi lain kemajemukan bangsa sarat dan rentan dengan konflik yang dapat mengganggu keamanan. Konflik sosial bernuansakan SARA selama ini seperti yang terjadi di Maluku, Sampit dan lain sebagainya menunjukkan rapuhnya rasa kebangsaan dan semangat solidaritas sosial. Benturan antar suku asli daerah dengan suku pendatang terjadi akibat adanya rasa kesukuan yang berlebihan yang berdampak kepada ketidaksukaan kepada suku lainnya, baik karena kecemburuan sosial ataupun tidak dapat menerima sikap dan perilaku suku lainnya yang dianggap tidak sesuai ataupun tidak pantas bagi adat dan budaya setempat. Hal itu menjadi faktor dan sumber gangguan keamanan yang sampai saat ini masih dicari cara penyelesaiannya yang efektif. Oleh karena itu apabila semangat primordialisme yang bernuansakan SARA tidak diwaspadai maka stabilitas keamanan nasional akan terus mengalami krisis yang berkelanjutan.

c. Fanatisme agama yang berlebihan
Fanatisme agama pada dasarnya adalah sesuatu yang wajar bila dikaitkan dengan keimanan dan ketakwaan. Akan tetapi bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai agama acapkali sangat mudah tersulut oleh permasalahan SARA dengan latar belakang agama. Agama Islam yang memiliki penganut terbesar di Indonesia tentu menjadi kunci dalam kerukunan kehidupan umat beragama dan antar agama. Sebab toleransi dan tenggang rasa dari umat Islam akan dapat memberikan kesejukan dalam hubungan antara agama dan sebaliknya sikap fanatisme yang sempit akan dapat menghancurkan kerukunan kehidupan umat beragama dan antar agama.

d. Konflik Antar elite politik
Lebih dari 25 tahun setiap Pemilu hanya diikuti 3 kontestan yaitu dua Partai Politik dan satu Golongan Karya. Dengan diundangkannya UU No. 2/1999 tentang Partai Politik, telah memberikan implikasi yang cukup signifikan yaitu dalam Pemilu 1999 diikuti 48 Partai Politik, sedangkan dalam Pemilu 2004 mendatang, 24 partai akan berlaga. Dengan semakin baiknya kehidupan berdemokrasi, logikanya tahun 1999 dengan banyak partai politik yang mengatasnamakan demokrasi akan menghasilkan kondisi berbangsa dan bernegara jadi lebih baik, namun kenyataan dilapangan justru sebaliknya banyak dijumpai terjadinya pelanggaran hukum, pelanggaran hak asasi manusia, bahkan semakin terlihat adanya pelanggaran etika dan moral.

e. Lambatnya Pemulihan Ekonomi
Meskipun telah dilakukan upaya untuk mengatasi krisis ekonomi, tetapi hasilnya belum memadai. Lambatnya proses pemulihan ekonomi ini terutama disebabkan oleh tiga faktor :
1) Tidak adanya sense of crisis dari penyelenggara negara serta tidak jelasnya prioritas penyelesaian resesi.
2) Penyelenggaraan negara dibidang ekonomi yang terpusat dengan campur tangan pemerintah yang terlalu besar telah mengakibatkan mekanisme pasar tidak berfungsi secara efektif.
3) Kesenjangan ekonomi antara pusat dan daerah, antar daerah, antar pelaku, dan antar golongan telah memicu kerawanan sosial dan keamanan apalagi lambatnya pemulihan ekonomi mengakibatkan pengangguran meningkat hingga ±36 juta orang, meningkatnya kriminalitas dan frustrasi sosial yang mengarah pada kecemburuan sosial ekonomi.

f. Lemahnya Penegakan Hukum dan HAM
Untuk mewujudkan kesatuan bangsa yang kokoh salah satu agenda penting saat ini adalah penegakan supremasi hukum. Penegakan hukum harus mencakup aspek budaya hukum, penyempurnaan dan pembaharuan substansi hokum. Selain itu juga dilakukan pembenahan dan penataan lembaga penegak hukum agar terwujud kewibawaan hukum. Lemahnya penegakan hukum dan HAM saat ini bukan hanya semakin menipiskan kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah namun juga menjadi sorotan dunia internasional. Oleh karena itu keberhasilan penegakan hukum dan pemulihan citra penegakan HAM akan mengurangi ketegangan dan gejolak di daerah, sehingga terwujud stabilitas keamanan nasional.

2.2 Analisis Pelaksanaan Otonomi Daerah terhadap stabilitas
Dalam era transisi kebijakan sentralistik ke desentralistik demokratis yang dituju dalam pemerintahan nasional sebagaimana ditandai dengan diberlakukannya Otonomi daerah sesuai dengan Undang-undang No. 22 tahun 1999 sejak tanggal 1 Januari 2001, memang masih ditemui kendala-kendala yang perlu diatasi. Dari sekian kendala terdapat permasalahan yang mengandung potensi instabilitas yang dapat mengarah kepada melemahnya ketahanan nasional di daerah bahkan dapat memicu terjadinya disintegrasi bangsa bila tidak segera diatasi. Hal itu antara lain :

a. Masalah hubungan antara DPRD dan Kepala Daerah
Walaupun Kepala Daerah dalam kedudukan sebagai Badan Eksekutif Daerah bertanggung jawab kepada DPRD, namun DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah tetap merupakan partner (mitra) dari dan berkedudukan sejajar dengan Pemerintah Daerah c.q. Kepala Daerah. Masalah seperti ini pun sangat terasa di Pusat. Kesan memposisikan diri lebih kuat, lebih tinggi dari yang lainnya yang kadang-kadang disaksikan oleh masyarakat luas. Ada tiga hal yang perlu disadari dan disamakan oleh legislatif dan eksekutif dalam menyikapi berbagai perbedaan yaitu pola pikir, pola sikap dan pola tindak.
Sebagai konsekuensi diberlakukannya UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik dan UU No. 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum sebagai Tuntutan Fundamental Reformasi lahirlah Pemilihan Umum secara multipartai yang diikuti partai politik. Lahir pula lembaga legislatif (termasuk DPRD) yang merupakan representasi dari partai politik peserta pemilu dengan kemampuan yang beragam. Banyak pakar yang berpendapat bahwa kapabilitas dan kredibilitas anggota DPRD tidak merata bahkan ada yang kurang memahami tentang pemerintahan, dan dinilai ada pihak yang berorientasi menuntut haknya namun kurang memperhatikan apa saja yang menjadi kewajibannya.

b. Perangkat Daerah
Dengan bergesernya paradigma sentralisasi menjadi desentralisasi, dimana otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab difokuskan di daerah kabupaten dan kota, sedangkan otonomi terbatas difokuskan di daerah Propinsi, kenyataan ini menuntut adanya perubahan yang mendasar dalam tatanan organisasi Pemerintah Daerah. Dengan luasnya otonomi daerah di daerah kabupaten dan kota, mengharuskan daerah untuk melakukan restrukturisasi kelembagaan Pemerintah Daerah sesuai dengan Undang-undang No. 22 Tahun 1999, yakni mulai perangkat desa yaitu unsure staf di lingkungan Pemerintah Daerah yang membantu Kepala Daerah dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari. Perangkat daerah terdiri dari sekretariat daerah, dinas daerah dan Lembaga Teknis Daerah lainnya seperti Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah, Lembaga Pengawasan Daerah, Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah dan lain-lain.

c. Partisipasi Masyarakat
Sebagai dampak dari agenda reformasi nasional dan pengaruh isu global terutama demokratisasi dan hak asasi manusia, masyarakat semakin memahami akan haknya sebagai warga negara. Namun ada kecenderungan mereka kurang memahami akan kewajibannya. Masyarakat makin kritis, reaktif dan proaktif dalam menuntut hak-haknya kepada pemerintah, namun kurang mau mengerti apa yang menjadi kesulitan dan/atau permasalahan yang dihadapi pemerintah termasuk PemerintahDaerah. Kondisi ini merupakan suatu realita yang terjadi di seluruh pelosok tanah air dan realitas ini dapat dipahami sebagai refleksi dinamika demokratisasi yang berorientasi pada kebebasan tanpa didasari etika nilai budaya bangsa yang terakomodasi di dalam Pancasila.

d. Potensi Disintegrasi
Masalah lain yang dapat dipandang sebagai potensi dalam pelaksanaan otoda antara lain:
1) Arogansi sektoral
Disintegrasi dapat juga terjadi karena beberapa daerah cenderung eksklusif, mementingkan daerahnya sendiri tanpa memperhatikan kepentingan daerah lain, termasuk kepentingan pemerintah pusat.
2) Perbedaan Sumber Daya
Sebagian daerah punya potensi sumber daya/kekayaan alamnya yang berlimpah / berlebih, sehingga daerah-daerah tersebut mampu menyelenggarakan pemerintahan dengan tingkat kesejahteraan masyarakatnya yang tinggi. Hal ini dimungkinkan karena hasil sumber daya alam dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) nya melebihi kebutuhan biaya penyelenggaraan pemerintah

2.3 Meluruskan, Mengamankan dan Memberdayakan OTDA dalam Mencegah Disintegrasi
Membangun dan mempertahankan integrasi nasional adalah unfinished agenda yang dilaksanakan dengan membangun dan menghidupkan komitmen untuk bersatu, membangun jiwa musyawarah dalam kerangka demokrasi, membangun kelembagaan yang menyuburkan persatuan dan kesatuan, merumuskan regulasi dan undang-undang yang konkrit, serta membutuhkan kepemimpinan yang arif dan efektif. Untuk melakukannya diperlukan konsistensi yang arif dan efektif, kesungguhan dan sekaligus kesabaran. Agar upaya pembinaan (yang tidak hanya dilakukan oleh pemerintah) ini efektif dan berhasil, diperlukan pula tatanan, perangkat dan kebijakan yang tepat. kerangka yang sebaiknya dibangun dalam upaya memperkukuh integrasi nasional dapat dituangkan dalam langkah sebagai berikut .
a. Membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu. Perjalanan panjang masa Indonesia untuk menyatukan dirinya, sebutlah mulai Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi Kemerdekaan 1945 dan rangkaian upaya menumpas pemberontakan dan separatisme harus terus dihadirkan dalam hati sanubari dan amal pikiran bangsa Indonesia.
b. Menciptakan kondisi yang mendukung komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu dan membiasakan diri untuk selalu membangun konsensus. Kompromi dan kesepakatan adalah jiwa musyawarah dan sesungguhnya juga demokrasi. Bagi Indonesia yang amat majemuk, iklim dan budaya demikian amat diperlukan. Yang kita tuju adalah harmoni dan hubungan simetris, dan bukan hegemoni. Oleh karena itu premis yang mengatakan “The minority has its say, the majority has its way”, harus kita pahami secara arif dan kontekstual.
c. Membangun kelembagaan (pranata) yang berakarkan nilai dan norma yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa. Membangun integrasi nasional tidak hanya dilakukan secara struktural tetapi juga kultural. Pranata ini kelak harus mampu membangun mekanisme peleraian konflik (conflict management) guna mencegah kecenderungan langkah-langkah yang represif untuk menyelesaikan konflik dan represif approach digunakan jika persuasive approach dinyatakan gagal.
d. Sangat disadari berbagai saran dan upaya perbaikan (revisi) terhadap berbagai hal (pasal) krusial dari UU No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Otonomi Daerah diharapkan nantinya akan mampu mengatasi berbagai kendala dan keterbatasannya, sehingga dapat memberikan perhatian lebih besar terhadap berbagai kemungkinan terjadinya konflik yang berujung pada disintegrasi bangsa.
e. Upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan kepemimpinan yang arif dan efektif. Setiap pemimpin di negeri ini, baik formal maupun non formal, harus memiliki kepekaan dan kepedulian yang tinggi, serta upaya yang sungguh-sungguh untuk terus membina dan memantapkan integrasi nasional kita. Kiranya apapun yang terjadi maka NKRI harus dipertahankan.










BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
a. Beberapa milik bangsa yang hilang akibat efaria reformasi (rasa kebanggaan, kepercayaan, rasa aman, rasa hormat) harus dibangun kembali dengan upaya yang keras dari seluruh bangsa
b. Disintegrasi bangsa, separatisme merupakan permasalahan kompleks akibat akumulasi permasalahan politik, ekonomi dan keamanan yang saling tumpang tindih. Dengan demikian diperlukan penanganan khusus dengan pendekatan yang arif namun tegas walaupun aspek hukum, keadilan dan sosial budaya merupakan faktor berpengaruh dan perlu pemikiran tersendiri.
c. Pemberlakuan UU No. 22/1999 tentang otonomi daerah merupakan implikasi positif bagi masa depan pemerintahan Daerah di Indonesia. Ada potensi untuk menciptakan pengentalan heterogenitas dibidang SARA dan dapat berdampak pada suatu konflik yang pada akhirnya berpotensi untuk memisahkan diri dari Indonesia.
d. Berbagai masalah yang timbul dalam berbagai aspek kehidupan, berpeluang untuk direkayasa menjadi permasalahan dan dipermasalahkan oleh pihak tertentu dengan sasaran tejadinya instabilitas yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Dengan otonomi daerah, jalur lebih pendek, aparat terkait diharapkan akan lebih peka dan cepat mengatasinya.
e. Kepemimpinan (leadership) dari tingkat elite politik nasional sampai kepemimpinan daerah, sangat menentukan dalam rangka meredam konflik pada stadium dini.
3.2 Saran
1. bagi pemerintah, memberikan perlindungan hukum terhadap kebijakan desentralisasi/OTDA kepada daerah supaya tidak adanya diskriminasi antar daerah yang satu dengan yang lainnya.
2. bagi daerah, mampu mengembangkan dan mengolah potensi daerah/kekayaan daerah yang dimikiki agar mampu meningkatkan taraf hidup masyarakatnya.
3. Bagi masyarakat, agar dapat memberikan konstribusi terhadap pembangunan daerahnya.

DAPTAR FUSTAKA


HB. Amiruddin Maula, Drs, SH. Msi. 2001. “Menjaga Kepentingan Nasional Melalui Pelaksanaan Otonomi Daerah Guna Mencegah Terjadinya Disintegrasi Bangsa, Jakarta, Lemhannas 2001.

http://antrounair.wordpress.com/2008/08/11/transformasi-birokrasi-lokal-dan permasalahannya - reformasi - dan - otonomi-daerah/
http://www.immunk.com/post/makalah+otonomi+daerah+dan+permasalahannya.html
http://www.docstoc.com/docs/1825094/Pengaruh-Kebijakan-Otonomi-Daerah-Implementasi-dan-Permasalahannya-terhadap-Pembangunan-Nasional
http://www.slideshare.net/DadangSolihin/penguatan-otonomi-daerah-dalam-rangka-memperkokoh-nkri
http://informasiteknologi.com/2011/otonomi+daerah+dan+permasalahannya+budaya+wikipedia+pendidikan.html
http://openlibrary.org/books/OL3607446M/Strategi_resolusi_kebijakan_dan_implementasi_otonomi_daerah_dalam_kerangka_good_governance_di_Indonesia
PERANAN OTONOMI DAERAH
DALAM MENCEGAH DISINTEGRASI BANGSA





Oleh :
I WAYAN MIYASA
0714041020
A






JURUSAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2011
BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah
Kebijaksanaan desentralisasi yang tertuang dalam Undang-Undang No. 22 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999, merupakan strategi baru dalam memasuki era globalisasi dan perdagangan bebas. Kedua Undang-Undang tersebut, diharapkan dapat mengembangkan kehidupan demokrasi, peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat, serta terpeliharanya nilai-nilai keanekaragaman daerah. Adanya kekhawatiran bakal timbulnya disintegrasi apabila kewenangan otonomi
daerah secara luas, adalah tidak mendasar dan tidak relevan lagi.Beberapa tahun reformasi, berbagai elemen bangsa bak lepas kendali. Kerinduan untuk bebas berbicara yang selama ini sulit diperoleh, pada era reformasi ini betul betul dinikmati habis habisan. Tidak jelas apakah sekelompok orang itu menyanyi atau berpidato, terkadang yang terdengar mirip-mirip sumpah serapah. Hiruk pikuk sekali.
Atas nama keadilan, demokrasi dan HAM , berbagai rambu kehidupan pun sering diterjang. Dan ketika pesta gegap gempita mulai mereda, kelelahan, dan kesadaranpun mulai muncul kembali dan pikiran jernih mulai berbicara. Kita terperangah ketika mengetahui terlanjur banyak sudah yang hilang dari bangsa ini. Kepercayaan antar elemen bangsa. Kebanggaan sebagai bangsa yang ramah. Rasa kebangsaan yang terasa semakin tergerus. Rasa aman tanpa tawuran dan bom. Serta rasa-rasa lain yang hilang begitu cepat. Termasuk rasa hormat pada yang dituakan dan pejabat negara.
Disintegrasi bangsa yang menghantui negeri ini bisa muncul dari berbagai sumber. Kebhinekaan yang dianggap sebagai kekayaan bangsa, baik dari segi etnik yang berjumlah puluhan, budaya, bahasa, adat istiadat, agama serta berbagai kepercayaan yang ada, ternyata mempunyai sisi yang rawan berupa potensi perpecahan yang implikasinya bisa sangat luas dan mendalam. Artinya, celah peluang sekecil apapun dapat disalahgunakan untuk maksud - maksud yang merugikan integritas wilayah NKRI.
Otonomi daerah seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 dapat dipandang dari mempunyai dua sisi yang berbeda. Manfaat atau tidaknya otoda bagi kemaslahatan bangsa akan sangat bergantung pada bagaimanan cara kita
memperlakukannya.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari latar belakang diatas yaitu :
1. Bagaimanakah dasar pemikiran tentang OTDA dan proses terjadinya disintegrasi bangsa ?
2. Bagaimana analisis pelaksanaan otonomi daerah terhadap stabilitas ?
3. Bagaimanakah cara Meluruskan, mengamankan dan memberdayakan otoda dalam mencegah disintegrasi.
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu :
1. Untuk mengetahui dasar pemikiran OTDA dan proses terjadinya disintegrasi bangsa.
2. Untuk mengetahui analisis pelaksanaan otonomi daerah terhadap stabilitas.
3. Untuk mengetahui cara Meluruskan, mengamankan dan memberdayakan otoda dalam mencegah disintegrasi.
1.4 Manfaat
Manfaat dari pembuatan makalah ini yaitu, dengan mempelajari peranan OTDA dalam mencegah disintegrasi bangsa diharapkan bagi seluruh lapisan masyarakat mampu melaksanakan OTDA sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karena, OTDA akan memberikan dampak posiif maupun negatif terhadap daerah-daerah di Indonesia.
1.5 Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, metode yang peneliti gunakan yaitu mencari sumber dari beberapa artikel/literature-literatur di internet, kemudian menyimpulkannya kedalam bentuk makalah ini.









BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Dasar pemikiran OTDA dan Proses Terjadinya Disintegrasi Bangsa
a. Fenomena Disintegrasi Bangsa
Kekhawatiran tentang perpecahan (disintegrasi) bangsa, berangkat dari kondisi tanah air dewasa ini yang dihadapkan pada konflik dan pertikaian. Berbagai akumulasi masalah sosial yang terpendam dimasa lalu, saat ini muncul dalam bentuk yang bisa berbeda satu sama lain. Asalkan ada sedikit saja pemicunya, persoalan yang sepele pun dengan cepat bisa meledak, menyebar dan meluas secara cepat.
Seiring dengan itu lahir sejumlah tuntutan daerah-daerah diluar Jawa agar mendapatkan otonomi yang lebih luas atau malahan tuntutan untuk merdeka. Hal-hal tersebut semakin menambah parah situasi. Separatis GAM dan OPM yang memasang harga mati bagi kemerdekaannya merupakan contoh kasus yang perlu ditanggulangi.
Paham dan gerakan separatis ingin memisahkan diri dari NKRI ini. Eksistensinya akan sangat bergantung pada situasi, dan kalau diamati lebih jauh maka penyebab yang melatarbelakangi hal tsb, antara lain : kadar cinta tanah air (patriotisme dan nasionalisme) yang kurang/tipis, sakit hati, frustrasi, balas dendam, kesenjangan, iri hati dan ketidaksetujuan/kontra dengan pihak pemerintah. Atau mungkin bahkan karena provokasi pihak asing.

b. Fenomena Kebebasan
Kebebasan dalam era globalisasi dewasa ini merupakan kata ampuh yang digunakan dalam fora nasional dan internasional. Dalam hubungan antar bangsa implikasinya lebih luas lagi, digunakan dalam ajang perebutan pengaruh dan kekuasaan ekonomi, politik, budaya dan berbagai kepentingan lain baik dalam skala domestik maupun skala internasional.
Atas dasar kebebasan, berbagai legalitas dan nilai hukum dipertanyakan. Dekonstruksi terhadap produk pemikiran mencuat ke permukaan dan merupakan model kecenderungan baru. Eksistensi dan otoritas hakhak tradisional, eksistensi pemerintah dicurigai, anti kemapanan pun menjadi isu politik. Kebebasan tanpa kendali cenderung melahirkan berbagai kekisruhan politik dan disorientasi nilai.

 Proses Terjadinya Disintegrasi Bangsa
Disintegrasi bangsa dapat terjadi karena adanya konflik vertikal atau konflik horizontal serta konflik komunal sebagai akibat tuntutan demokratisasi yang melampaui batas, sikap primordialisme bernuansa SARA, konflik antar elite politik, lambatnya pemulihan ekonomi, lemahnya penegakan hukum dan HAM serta ketidaksiapan pelaksanaan otonomi daerah.
a. Tuntutan demokratisasi yang melampaui batas
Reformasi yang semangatnya adalah melakukan rekonstruksi penyelenggaraan pemerintahan yang lebih demokratis, serta untuk membentuk pemerintahan yang legitimate, dalam kenyataannya sekian tahun pemerintahan reformasi berjalan belum mampu menyelesaikan berbagai masalah, termasuk agenda reformasi yang dicanangkannya. Kondisi stabilitas keamanan nasional boleh dikatakan telah mencapai kondisi yang sangat memprihatinkan. Implikasi dari semangat reformasi telah menimbulkan kerugian besar baik materiil maupun imateriil. Ekses negatif dari proses reformasi dapat dilihat dari makin merebaknya tindak kekerasan, anarkisme, serta diabaikannya etika dan moral. Selain itu lemahnya penegakan hukum telah menurunkan kepercayaan.

b. Sikap primordialisme sempit bernuansa SARA
Kemajemukan bangsa yang terdiri dari berbagai suku, agama, adat, bahasa dan budaya disatu sisi merupakan kekayaan bangsa dan negara yang tidak ternilai harganya. Namun disisi lain kemajemukan bangsa sarat dan rentan dengan konflik yang dapat mengganggu keamanan. Konflik sosial bernuansakan SARA selama ini seperti yang terjadi di Maluku, Sampit dan lain sebagainya menunjukkan rapuhnya rasa kebangsaan dan semangat solidaritas sosial. Benturan antar suku asli daerah dengan suku pendatang terjadi akibat adanya rasa kesukuan yang berlebihan yang berdampak kepada ketidaksukaan kepada suku lainnya, baik karena kecemburuan sosial ataupun tidak dapat menerima sikap dan perilaku suku lainnya yang dianggap tidak sesuai ataupun tidak pantas bagi adat dan budaya setempat. Hal itu menjadi faktor dan sumber gangguan keamanan yang sampai saat ini masih dicari cara penyelesaiannya yang efektif. Oleh karena itu apabila semangat primordialisme yang bernuansakan SARA tidak diwaspadai maka stabilitas keamanan nasional akan terus mengalami krisis yang berkelanjutan.

c. Fanatisme agama yang berlebihan
Fanatisme agama pada dasarnya adalah sesuatu yang wajar bila dikaitkan dengan keimanan dan ketakwaan. Akan tetapi bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai agama acapkali sangat mudah tersulut oleh permasalahan SARA dengan latar belakang agama. Agama Islam yang memiliki penganut terbesar di Indonesia tentu menjadi kunci dalam kerukunan kehidupan umat beragama dan antar agama. Sebab toleransi dan tenggang rasa dari umat Islam akan dapat memberikan kesejukan dalam hubungan antara agama dan sebaliknya sikap fanatisme yang sempit akan dapat menghancurkan kerukunan kehidupan umat beragama dan antar agama.

d. Konflik Antar elite politik
Lebih dari 25 tahun setiap Pemilu hanya diikuti 3 kontestan yaitu dua Partai Politik dan satu Golongan Karya. Dengan diundangkannya UU No. 2/1999 tentang Partai Politik, telah memberikan implikasi yang cukup signifikan yaitu dalam Pemilu 1999 diikuti 48 Partai Politik, sedangkan dalam Pemilu 2004 mendatang, 24 partai akan berlaga. Dengan semakin baiknya kehidupan berdemokrasi, logikanya tahun 1999 dengan banyak partai politik yang mengatasnamakan demokrasi akan menghasilkan kondisi berbangsa dan bernegara jadi lebih baik, namun kenyataan dilapangan justru sebaliknya banyak dijumpai terjadinya pelanggaran hukum, pelanggaran hak asasi manusia, bahkan semakin terlihat adanya pelanggaran etika dan moral.

e. Lambatnya Pemulihan Ekonomi
Meskipun telah dilakukan upaya untuk mengatasi krisis ekonomi, tetapi hasilnya belum memadai. Lambatnya proses pemulihan ekonomi ini terutama disebabkan oleh tiga faktor :
1) Tidak adanya sense of crisis dari penyelenggara negara serta tidak jelasnya prioritas penyelesaian resesi.
2) Penyelenggaraan negara dibidang ekonomi yang terpusat dengan campur tangan pemerintah yang terlalu besar telah mengakibatkan mekanisme pasar tidak berfungsi secara efektif.
3) Kesenjangan ekonomi antara pusat dan daerah, antar daerah, antar pelaku, dan antar golongan telah memicu kerawanan sosial dan keamanan apalagi lambatnya pemulihan ekonomi mengakibatkan pengangguran meningkat hingga ±36 juta orang, meningkatnya kriminalitas dan frustrasi sosial yang mengarah pada kecemburuan sosial ekonomi.

f. Lemahnya Penegakan Hukum dan HAM
Untuk mewujudkan kesatuan bangsa yang kokoh salah satu agenda penting saat ini adalah penegakan supremasi hukum. Penegakan hukum harus mencakup aspek budaya hukum, penyempurnaan dan pembaharuan substansi hokum. Selain itu juga dilakukan pembenahan dan penataan lembaga penegak hukum agar terwujud kewibawaan hukum. Lemahnya penegakan hukum dan HAM saat ini bukan hanya semakin menipiskan kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah namun juga menjadi sorotan dunia internasional. Oleh karena itu keberhasilan penegakan hukum dan pemulihan citra penegakan HAM akan mengurangi ketegangan dan gejolak di daerah, sehingga terwujud stabilitas keamanan nasional.

2.2 Analisis Pelaksanaan Otonomi Daerah terhadap stabilitas
Dalam era transisi kebijakan sentralistik ke desentralistik demokratis yang dituju dalam pemerintahan nasional sebagaimana ditandai dengan diberlakukannya Otonomi daerah sesuai dengan Undang-undang No. 22 tahun 1999 sejak tanggal 1 Januari 2001, memang masih ditemui kendala-kendala yang perlu diatasi. Dari sekian kendala terdapat permasalahan yang mengandung potensi instabilitas yang dapat mengarah kepada melemahnya ketahanan nasional di daerah bahkan dapat memicu terjadinya disintegrasi bangsa bila tidak segera diatasi. Hal itu antara lain :

a. Masalah hubungan antara DPRD dan Kepala Daerah
Walaupun Kepala Daerah dalam kedudukan sebagai Badan Eksekutif Daerah bertanggung jawab kepada DPRD, namun DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah tetap merupakan partner (mitra) dari dan berkedudukan sejajar dengan Pemerintah Daerah c.q. Kepala Daerah. Masalah seperti ini pun sangat terasa di Pusat. Kesan memposisikan diri lebih kuat, lebih tinggi dari yang lainnya yang kadang-kadang disaksikan oleh masyarakat luas. Ada tiga hal yang perlu disadari dan disamakan oleh legislatif dan eksekutif dalam menyikapi berbagai perbedaan yaitu pola pikir, pola sikap dan pola tindak.
Sebagai konsekuensi diberlakukannya UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik dan UU No. 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum sebagai Tuntutan Fundamental Reformasi lahirlah Pemilihan Umum secara multipartai yang diikuti partai politik. Lahir pula lembaga legislatif (termasuk DPRD) yang merupakan representasi dari partai politik peserta pemilu dengan kemampuan yang beragam. Banyak pakar yang berpendapat bahwa kapabilitas dan kredibilitas anggota DPRD tidak merata bahkan ada yang kurang memahami tentang pemerintahan, dan dinilai ada pihak yang berorientasi menuntut haknya namun kurang memperhatikan apa saja yang menjadi kewajibannya.

b. Perangkat Daerah
Dengan bergesernya paradigma sentralisasi menjadi desentralisasi, dimana otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab difokuskan di daerah kabupaten dan kota, sedangkan otonomi terbatas difokuskan di daerah Propinsi, kenyataan ini menuntut adanya perubahan yang mendasar dalam tatanan organisasi Pemerintah Daerah. Dengan luasnya otonomi daerah di daerah kabupaten dan kota, mengharuskan daerah untuk melakukan restrukturisasi kelembagaan Pemerintah Daerah sesuai dengan Undang-undang No. 22 Tahun 1999, yakni mulai perangkat desa yaitu unsure staf di lingkungan Pemerintah Daerah yang membantu Kepala Daerah dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari. Perangkat daerah terdiri dari sekretariat daerah, dinas daerah dan Lembaga Teknis Daerah lainnya seperti Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah, Lembaga Pengawasan Daerah, Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah dan lain-lain.

c. Partisipasi Masyarakat
Sebagai dampak dari agenda reformasi nasional dan pengaruh isu global terutama demokratisasi dan hak asasi manusia, masyarakat semakin memahami akan haknya sebagai warga negara. Namun ada kecenderungan mereka kurang memahami akan kewajibannya. Masyarakat makin kritis, reaktif dan proaktif dalam menuntut hak-haknya kepada pemerintah, namun kurang mau mengerti apa yang menjadi kesulitan dan/atau permasalahan yang dihadapi pemerintah termasuk PemerintahDaerah. Kondisi ini merupakan suatu realita yang terjadi di seluruh pelosok tanah air dan realitas ini dapat dipahami sebagai refleksi dinamika demokratisasi yang berorientasi pada kebebasan tanpa didasari etika nilai budaya bangsa yang terakomodasi di dalam Pancasila.

d. Potensi Disintegrasi
Masalah lain yang dapat dipandang sebagai potensi dalam pelaksanaan otoda antara lain:
1) Arogansi sektoral
Disintegrasi dapat juga terjadi karena beberapa daerah cenderung eksklusif, mementingkan daerahnya sendiri tanpa memperhatikan kepentingan daerah lain, termasuk kepentingan pemerintah pusat.
2) Perbedaan Sumber Daya
Sebagian daerah punya potensi sumber daya/kekayaan alamnya yang berlimpah / berlebih, sehingga daerah-daerah tersebut mampu menyelenggarakan pemerintahan dengan tingkat kesejahteraan masyarakatnya yang tinggi. Hal ini dimungkinkan karena hasil sumber daya alam dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) nya melebihi kebutuhan biaya penyelenggaraan pemerintah

2.3 Meluruskan, Mengamankan dan Memberdayakan OTDA dalam Mencegah Disintegrasi
Membangun dan mempertahankan integrasi nasional adalah unfinished agenda yang dilaksanakan dengan membangun dan menghidupkan komitmen untuk bersatu, membangun jiwa musyawarah dalam kerangka demokrasi, membangun kelembagaan yang menyuburkan persatuan dan kesatuan, merumuskan regulasi dan undang-undang yang konkrit, serta membutuhkan kepemimpinan yang arif dan efektif. Untuk melakukannya diperlukan konsistensi yang arif dan efektif, kesungguhan dan sekaligus kesabaran. Agar upaya pembinaan (yang tidak hanya dilakukan oleh pemerintah) ini efektif dan berhasil, diperlukan pula tatanan, perangkat dan kebijakan yang tepat. kerangka yang sebaiknya dibangun dalam upaya memperkukuh integrasi nasional dapat dituangkan dalam langkah sebagai berikut .
a. Membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu. Perjalanan panjang masa Indonesia untuk menyatukan dirinya, sebutlah mulai Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi Kemerdekaan 1945 dan rangkaian upaya menumpas pemberontakan dan separatisme harus terus dihadirkan dalam hati sanubari dan amal pikiran bangsa Indonesia.
b. Menciptakan kondisi yang mendukung komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu dan membiasakan diri untuk selalu membangun konsensus. Kompromi dan kesepakatan adalah jiwa musyawarah dan sesungguhnya juga demokrasi. Bagi Indonesia yang amat majemuk, iklim dan budaya demikian amat diperlukan. Yang kita tuju adalah harmoni dan hubungan simetris, dan bukan hegemoni. Oleh karena itu premis yang mengatakan “The minority has its say, the majority has its way”, harus kita pahami secara arif dan kontekstual.
c. Membangun kelembagaan (pranata) yang berakarkan nilai dan norma yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa. Membangun integrasi nasional tidak hanya dilakukan secara struktural tetapi juga kultural. Pranata ini kelak harus mampu membangun mekanisme peleraian konflik (conflict management) guna mencegah kecenderungan langkah-langkah yang represif untuk menyelesaikan konflik dan represif approach digunakan jika persuasive approach dinyatakan gagal.
d. Sangat disadari berbagai saran dan upaya perbaikan (revisi) terhadap berbagai hal (pasal) krusial dari UU No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Otonomi Daerah diharapkan nantinya akan mampu mengatasi berbagai kendala dan keterbatasannya, sehingga dapat memberikan perhatian lebih besar terhadap berbagai kemungkinan terjadinya konflik yang berujung pada disintegrasi bangsa.
e. Upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan kepemimpinan yang arif dan efektif. Setiap pemimpin di negeri ini, baik formal maupun non formal, harus memiliki kepekaan dan kepedulian yang tinggi, serta upaya yang sungguh-sungguh untuk terus membina dan memantapkan integrasi nasional kita. Kiranya apapun yang terjadi maka NKRI harus dipertahankan.










BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
a. Beberapa milik bangsa yang hilang akibat efaria reformasi (rasa kebanggaan, kepercayaan, rasa aman, rasa hormat) harus dibangun kembali dengan upaya yang keras dari seluruh bangsa
b. Disintegrasi bangsa, separatisme merupakan permasalahan kompleks akibat akumulasi permasalahan politik, ekonomi dan keamanan yang saling tumpang tindih. Dengan demikian diperlukan penanganan khusus dengan pendekatan yang arif namun tegas walaupun aspek hukum, keadilan dan sosial budaya merupakan faktor berpengaruh dan perlu pemikiran tersendiri.
c. Pemberlakuan UU No. 22/1999 tentang otonomi daerah merupakan implikasi positif bagi masa depan pemerintahan Daerah di Indonesia. Ada potensi untuk menciptakan pengentalan heterogenitas dibidang SARA dan dapat berdampak pada suatu konflik yang pada akhirnya berpotensi untuk memisahkan diri dari Indonesia.
d. Berbagai masalah yang timbul dalam berbagai aspek kehidupan, berpeluang untuk direkayasa menjadi permasalahan dan dipermasalahkan oleh pihak tertentu dengan sasaran tejadinya instabilitas yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Dengan otonomi daerah, jalur lebih pendek, aparat terkait diharapkan akan lebih peka dan cepat mengatasinya.
e. Kepemimpinan (leadership) dari tingkat elite politik nasional sampai kepemimpinan daerah, sangat menentukan dalam rangka meredam konflik pada stadium dini.
3.2 Saran
1. bagi pemerintah, memberikan perlindungan hukum terhadap kebijakan desentralisasi/OTDA kepada daerah supaya tidak adanya diskriminasi antar daerah yang satu dengan yang lainnya.
2. bagi daerah, mampu mengembangkan dan mengolah potensi daerah/kekayaan daerah yang dimikiki agar mampu meningkatkan taraf hidup masyarakatnya.
3. Bagi masyarakat, agar dapat memberikan konstribusi terhadap pembangunan daerahnya.

DAPTAR FUSTAKA


HB. Amiruddin Maula, Drs, SH. Msi. 2001. “Menjaga Kepentingan Nasional Melalui Pelaksanaan Otonomi Daerah Guna Mencegah Terjadinya Disintegrasi Bangsa, Jakarta, Lemhannas 2001.

http://antrounair.wordpress.com/2008/08/11/transformasi-birokrasi-lokal-dan permasalahannya - reformasi - dan - otonomi-daerah/
http://www.immunk.com/post/makalah+otonomi+daerah+dan+permasalahannya.html
http://www.docstoc.com/docs/1825094/Pengaruh-Kebijakan-Otonomi-Daerah-Implementasi-dan-Permasalahannya-terhadap-Pembangunan-Nasional
http://www.slideshare.net/DadangSolihin/penguatan-otonomi-daerah-dalam-rangka-memperkokoh-nkri
http://informasiteknologi.com/2011/otonomi+daerah+dan+permasalahannya+budaya+wikipedia+pendidikan.html
http://openlibrary.org/books/OL3607446M/Strategi_resolusi_kebijakan_dan_implementasi_otonomi_daerah_dalam_kerangka_good_governance_di_Indonesia

Kamis, 03 Februari 2011

Perbedaan Antara Konflik dan Kekerasan

2.2 Perbedaan Antara Konflik dan Kekerasan
Seperti telah dikatakan di atas yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto bahwa konflik atau pertentangan merupakan suatu proses sosial di mana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan kekerasan. Dengan demikian, disimpulkan bahwa konflik akan menimbulkan kekerasan serta suatu perubahan sosial. Jadi, kekerasan dapat timbul karena adanya konflik atau pertentangan dalam suatu kelompok di dalam anggota masyarakat.
Pandangan umum tentang hubungan antara kekerasan dengan perubahan ini telah dirangkum oleh Bienen berdasarkan studi kepustakaannya, dan mengemukakan tiga proporsi, yaitu :
1. Kebanyakan perubahan sosial dan politik tidak diakibatkan oleh revolusi dengan kekerasan.
2. Revolusi merupakan titik batas antara suatu proses yang berjalan lambat dan penataan kembali masyarakat yang berlangsung secara cepat dan radikal.
3. Kekerasan berkala luas dapat dihubungkan dengan semakin banyak yang berubah, semakin banyak yang tetap sama.
Pandangan berbeda dikemukakan oleh pemikir yang melihat kekerasan sebagai alat reformasi sosial. Di Amerika Serikat, kekerasan telah dihubungakan dengan masalah sosial sejak jaman pemberontakan budak sampai perjuangan hak-hak sipil sekarang ini. Kekarasan juga telah menandai gerak buruh dan gerakan memperjuangkan pak pilih wanita. Menurut Drake dalam setiap kasus, kekerasan telah menjadi faktor penting yang mempercepat gerakan itu mencapai tujuannya. Kekerasan mempunyai fungsi psikologi-sosial tertentu bagi anggota sebuah gerakan. Ini mungkin terdengar seakan-akan berlawanan dengan pernyataan sebelumnya bahwa konflik internal mempermudah pencapaian tujuan, tetapi menurut Robert H. Laurer dua hal yang perlu diingat, yaitu :
1. Konflik penting bagi penentuan yan diambil oleh suatu golongan untuk melakukan sebuah gerakan, dan solidaritas bagi efektifnya pemogokan. Solidaritas ini penting peranannya dalam mencapai berbagai perubahan yang diinginkan, dan solidaritas ini terjamin karena kekerasan yang terjadi ketika pemogokan mulai terjadi.
2. Di dalam suatu gerakan dapat terjadi konflik dan solidaritas pada waktu bersamaan dan diantara keduanya tidak harus bettentangan. Konflik bias terjadi secara internal dengan menggunakan metode tertentu dalam penyelesaiannya.
Kekerasan merupakan perbuatan dari seseorang atau kelompok yang menyebabkan kerusakan fisik atau korban jiwa. Konflik akan berubah menjadi kekerasan apabila dalam pengelolaan penyelesaiannya tidak mencapai tujuan yang diharapkan oleh masing-masing pihak yang terkait.
Konflik dan kekerasan dapat dibedakan namun satu sama lain saling terkait. Kekerasan sering terjadi di lingkungan sekitar kita, sebagai contoh tawuran antar warga, tawuran antar pelajar dan tindakan main hakim sendiri di lingkungan masyarakat, seolah-olah hukum tidak berlaku lagi.
2.3 Berbagai Macam Konflik Masyarakat di Indonesia
Dalam satu dasawarsa terakhir, kita dikejutkan oleh konflik sosial yang desertai tindakan kekerasan, pembunuhan, pembakaran rumah, tempat ibadah dan pertokoan serta pemerkosaan. Intensitas dan ekstensitas konflik sosial yang terjadi sekarang berpotensi kian meningkat, terutama konflik sosial yang bersifat horizontal, yakni konflik yang berkembang di anggota masyarakat. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan timbulnya konflik berdimensi vertikal yakni antara masyarakat dan Negara.
Konflik berdimensi horizontal biasa disimak dalam konflik bernuansa suku, agama, ras, dan antara golonga (SARA) di Maluku dan Ambon. Setelah sebelumnya juga terjadi kekerasan seperti kasus Mei 1998, kasus Ketapang dan lain-lain. Sementara itu, konflik berdimensi vertical terjadi seperti di Aceh dan Papua serta daerah-daerah yang berpotensi memisahkan diri atau menuntut kemerdekaan.
Perkembangan terakhir menunjukkan kepada kita, konflik sosial dalam masyarakat telah berubah menjadi destruktif dan cenderung memiliki pertambahan yang harus terus meningkat dan meluas sehingga menimbulkan rasa was-was dan keprihatinan, bahkan telah mengusik perasaan ketentraman dalam masyarakat. Kasus Ambon dan Maluku merupakan konflik sosial dalam masyarakat yang cenderung destruktif dan anarkis sehingga tidak bias dianggap mudah dan harus diatasi secara memadai dan proporsional agar tidak menciptakan disintegrasi nasional.
Banyak yang harus direnungkan dan dicermati dengan fenomena konflik sosial tersebut. Apakah fenomena konflik sosial ini merupakan peristiwa yang bersifat incidental yang digerakkan oleh tangan-tangan kotor atau elite politik dengan motif tertentu dan kepentingan sesaat (menggoyang instabilitas pemerintahan baru), ataukan justru merupakan potensi laten yang selama ini terpendam dalam masyarakat ?.
Konflik sosial yang berselimutkan agama dan etnis sesungguhnya terjadi karena, adanya tujuan politik tertentu, misalnya kekuasaan. Disinilah perlu kesadaran dan kewaspadaan terhadap pihak-pihak tertentu yang menjustifikasi agama bagi kepentingan kekuasan.
Selain konflik sosial disertai kekerasan kolekif seperti di Ambon dan Maluku, masuh banyak tindak kekerasan yang ada dalam masyarakat. Kekerasan di Maluku dan Ambon barulah konflik sosial yang terekam (record) dan hanya bagian dari kenyataan yang secara resmi diketahui oleh masyarakat luas dan aparat pemerintah. Sementara itu konflik sosial yag sesungguhnya terjadi di masyarakat masih banyak yang…
BERSAMBUNG BROW………!!!!

Kamis, 20 Januari 2011

Lima permasalahan yang bertentangan dengan IDEOLOGI PANCASILA, yaitu :


TUGAS INDIVIDU
PANCASILA
NAMA            : I WAYAN MIYASA
NIM                : 0714041020
KELAS           : A
SEMESTER   : VII (TUJUH)

Lima permasalahan yang bertentangan dengan IDEOLOGI PANCASILA, yaitu :
1.      Terorisme
2.      Globalisasi
3.      Disintegrasi Bangsa
4.      Agama (Ideologi Pancasila menuju Syarikat Islam)
5.      Korupsi
PENJELASAN
1.   TEROSISME
Terorisme secara kasar merupakan suatu istilah yang digunakan untuk penggunaan kekerasan terhadap penduduk sipil/non kombatan untuk mencapai tujuan politik, dalam skala lebih kecil daripada perang. Dari segi bahasa, istilah teroris berasal dari Perancis pada abad 18. Kata Terorisme yang artinya dalam keadaan teror ( under the terror ), berasal dari bahasa latin ”terrere”yang berarti gemetaran dan ”detererre” yang berarti takut.
Mengapa terorisme masih tetap berlanjut di Indonesia, padahal Indonesia memiliki Pancasila sebagai ideologi? kehadiran terorisme seakan menggerus ideologi Pancasila yang selama ini dijadikan landasan hidup bagi masyarakat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara.
Pertanyaan muncul dibenak kita: kenapa segelintir bangsa Indonesia menjadi “rusak” sehingga kehilangan jati dirinya sebagai suatu bangsa yang pernah muncul dengan nama harum di dunia, antara lain sebagai pemersatu Negara-Negara dunia ke-tiga, penggagas Konfrensi Asia-Afrika, duta perdamaian dan banyak lagi contoh yang lain. Bahkan sekarang julukan yang tidak enak didengar mampir ditelinga kita, sebagai Negara sarang teroris.
Bung Karno tegas-tegas berkata: “Bila bangsa Indonesia melupakan Pancasila, tidak melaksanakan dan mengamalkannya maka bangsa ini akan hancur berkeping-keping” juga dinyatakan bahwa barang siapa, atau kelompok manapun yang hendak menentang atau membelokkan Pancasila, niscaya akan binasa.
Tapi itulah yang terjadi sekarang. Pancasila hanya diucapkan dibibir saja. Diajarkan di sekolah-sekolah hanya sebagai suatu pengetahuan. Sebagai sebuah sejarah, bahwa dahulu Bung Karno pernah mendengung-dengungkan Pancasila sebagai dasar Negara. Para siswa hafal dengan urutan sila-sila dari Pancasila, tetapi tidak paham artinya, filosofinya, dan hakekat manfaatannya bagi kehidupan berbangsa dan bertanah air satu, NKRI.
Terorisme di Indonesia tumbuh subur karena didukung oleh perilaku sebagian masyarakat yang bertentangan dengan filosofi Pancasila. Setiap sila telah diselewengkan: Ketuhanan Yang Maha Esa yang memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk memeluk agama menurut keyakinan dan kepercayaannya, telah diracuni oleh pemikiran-pemikiran salah yang hanya mengistimewakan agama tertentu saja. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, berupa penghargaan akan harkat dan martabat kemanusiaan, yang diwujudkan dengan penghargaan terhadap hak azasi manusia diabaikan. Ideologi Pancasila menjunjung tinggi persatuan bangsa dengan menempatkan terwujudnya persatuan bangsa itu di atas kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, kini tercabik-cabik ditarik ke sana kemari demi kepentingan politik praktis.Dan terakhir, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tinggal slogan kosong karena adanya jurang pemisah yang amat dalam antara si-kaya dan si-miskin, yang menimbulkan kecemburuan sosial.
Namun sebagai sebuah bangsa yang besar, kita wajib menyadari bahaya ini. Jika dibiarkan, tak ayal bangsa Indonesia akan terpecah-pecah dan akhirnya musnah. Belum terlambat benar untuk berbenah. Kembali pada kekeramatan Pancasila.
Selanjutnya, bagaimana cara menghapuskan terorisme dari bumi Indonesia? Hal ini nampaknya sulit untuk dilakukan karena masyarakat Indonesia belum satu hati menyikapi terorisme. Masih ada sebagian kecil kelompok masyarakat tertentu yang justru membela dan melindungi terorisme dengan opini-opini yang menyesatkan. Padahal, semua negara di belahan bumi mana pun sudah mendeklarasikan bahwa terorisme adalah musuh bersama.
Dari aspek kualitas ancaman, terorisme berpotensi merusak segala-galanya, mulai dari jiwa manusia (korban maupun pelaku), otak dan nurani (pelaku), bangunan fisik serta bangunan ideologi bangsa kita. Mereka bekerja sangat rahasia dan radikal, dengan menolak sebagian besar premis yang melandasi lembaga-lembaga yang sudah ada dalam masyarakat. Bahkan pemerintah pun dianggap sebagai pemasung rakyat. Karena itu terorisme digolongkan ke dalam jenis kejahatan luar biasa.
Penyelesaian yang tepat untuk memberantas terorisme di Indonesia:
a.     Revitalisasi Pancasila
Akar permasalahan dari terorisme adalah benturan filsafat universal yang saling bertolak belakang dan Pancasila dapat digunakan sebagai sarana terapi atas kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Revitalisasi Pancasila dalam kehidupan masyarakat dibutuhkan untuk menyatukan bangsa sekaligus membendung masuknya ideologi transnasional ke benak masyarakat Indonesia. Penerapan pancasila secara tepat dan bertanggungjawab harus ditingkatkan dari waktu ke waktu. Dengan demikian ancaman dari luar maupun dari dalam negeri bisa dibendung dan diatasi bersama dengan persatuan dan kesatuan Indonesia untuk kepentingan bersama.
Bangsa Indonesia harus memiliki ideologi sendiri yaitu Pancasila yang benar-benar diamalkan dalam kehidupan sehari-hari dengan baik. Dengan demikian, ideologi Pancasila dapat menjadi tameng untu melawan terorisme. Jika tidak, maka terorisme itu akan selalu ada. Seluruh elemen masyarakat harus meningkatkan kewaspadaan dan pengetahuan karena bentuk terorisme juga semakin berkembang sesuai dengan perkembangan peradaban dan teknologi, sehingga akan semakin mematikan. Semula, senjata yang digunakan adalah pistol, tetapi kemudian berkembang menjadi bom dan tidak menutup kemungkinan akan menggunakan nuklir apabila semuanya sudah serba nuklir.
Selain revitalisasi juga diperlukan reaktualisasi dan rejuvenasi nilai-nilai Pancasila karena fenomena terorisme yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh ketidakfahaman seseorang atas nilai-nilai kebenaran.
Dengan memperkuat kembali dan merevitalisasi ideologi serta filosofi pemersatu bangsa. Pancasila bisa menjadi filter terhadap nilai dan filosofi yang tidak sesuai dengan kultur serta identitas bangsa Indonesia. Dengan demikian, segala hal yang tidak sesuai dan berlawanan dengan Pancasila, termasuk terorisme, dapat dicegah dan dimusnahkan.


b.     Pendekatan Sosio-Kultural sebagai alternatif penyelesaian.
Memerangi terorisme tidaklah cukup dan tidak akan pernah berhasil hanya dengan menindak pelaku teror dan peledakan bom dengan kekerasan. Fakta telah menunjukkan bahwa membunuh pelaku teror, mengisolasinya dan memenjarakan para pemimpin organisasi teroris tidak mampu menghentikan tindakan terorisme dalam waktu lama. Seperti yang terjadi di Indonesia sendiri, evakuasi terhadap pelaku bom Bali dengan cara penembakan secara membabi buta, dikecam oleh barbagai pihak dan dianggap sebagai hukuman yang tidak manusiawi. Bahkan, para keluarga dan kerabat jelas-jelas memprotes prosesi tersebut. Dikhawatirkan dari pihak tertentu akan timbul dendam untuk membalas dan memunculkan suatu tindakan terorisme baru yang mungkin lebih parah dari yang sebelumnya.
Di Indonesia, munculnya tindakan terorisme menandakan adanya yang salah dalam sistem sosial, politik dan ekonomi. Para pelaku teroris menjadi sedemikian radikal disebabkan mereka merasa termarginalisasi dan terasing dari kehidupan sosial, politik dan ekonomi masyarakat. Keterasingan tersebut pada umumnya bersifat struktural yang termanifestasi dalam kebijakan pemerintah yang kurang akomodatif atau merugikan dalam waktu panjang. Hal ini akan mengakibatkan perasaaan tidak puas dan benci pada pemerintah dan kelompok masyarakat tertentu seperti orang kaya, penguasa dan orang asing yang dianggap telah melangkahi kepentingan mereka. Namun upaya untuk mengatasi rasa keterasingan tersebut secara normal mengalami hambatan karena tidak ada ruang bagi mereka untuk berpartisipasi dan menyalurkan harapan serta kepentingan mereka sehingga timbullah aksi radikal seperti terorisme.
Selain itu pula dalam rangka mengeliminir perekrutan pelaku terorisme pemerintah dapat bersinergi dengan para tokoh setiap agama yang ada di Indonesia untuk melepaskan label atau stigma dari suatu kelompok tertentu terhadap kelompok lainnya yang dicurigai sebagai pelaku terorisme. Sehingga perlunya lebih merekatkan kerjasama di dalam kelompok masyarakat Indonesia dan menjalin komunikasi untuk menyamakan persamaan pandangan dari dalam seluruh kelompok masyarakat bahwa terorisme bukanlah nilai/ajaran suatu kelompok tertentu.





2. Globalisasi
Pengaruh globalisasi di Indonesia yang sudah didominasi oleh gaya kapitalis dan pemikiran liberalis secara perlahan sudah berusaha menggrogoti nilai-nilai ideology Pancasila yang memiliki arti kemanusian yang adil dan beradab dengan menimbulkan banyak perubahan pada nilai-nilai kemanusiaan yang beradab kepada nilai pemikiran Liberalis dan memberikan dampak kemerosotan moral menjadi tidak beradab yaitu dengan maraknya pornografi dan pornoaksi yang mengatasnamakan seni dan menungkir balikan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia dengan adat ketimurannya yang dahulu selalu menjaga nilai kemanusiaan yg beradab, namun kini pengaruh kapitalis yang mengusung pemikiran liberalis dengan kebebasan tanpa batas, sesungguhnya sudah menurunkan arti peradaban bangsa Indonesia yang dahulu selalu dijunjung tinggi menjadi negara dengan kemerosotan moral yang cukup tajam dan tidak sesuai dengan Ideologi Pancasila yang menganut faham ke Tuhanan YME yang seharusnya mengikat tiap-tiap individu.
Perubahan-perubahan nilai yang dialami oleh masyarakat sebagai akibat dari pengaruh globalisasi dan modernisasi dapat digologkan dalam 4 (empat) kategori sebagai berikut :
a.       Perubahan nilai-nilai yang tidak diperlukan dalam pembangunan nasional dalam upayanya untuk mewujudkan cita-cita kesejahteraan bangsa dan disamping itu juga karena bertentangan dengan nilai-nilai budaya Pancasila. Konsumerisme, pergaulan bebas, pemakaian obat-obat terlarang merupakan contoh dari jenis nilai-nilai asing yang demikian itu.
b.      Perubahan nilai-nilai yang esensial diperlukan dalam rangka mewujudkan kemajuan dan kesejahteraan bangsa, tetapi jelas-jelas bertentangan dengan salah satu atau beberapa sila dari Pancasila.
c.       Perubahan nilai-nilai yang tidak diperlukan untuk membawa masyarakat dan bangsa ke arah kemakmuran dan kesejahteraan, tetapi tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar Pancasila. Suatu contoh yang mungkin dapat dikemukakan mengenai jenis ini adalah cara berpakaian yang cenderung mengikuti mode yang berlaku di negara-negara Barat. Demikian pula kegandrungan pada seni musik dan seni tari negara-negara maju.
d.      Perubahan nilai-nilai yang secara obyektif diperlukan untuk mendinamisasikan bangsa dan membawanya ke arah tercapainya kesejahteaan yang lebih tinggi dan tidak secara jelas bertentangan dengan salah satu atau beberapa sila dari Pancasila.
Bertolak dari fungsi Pancasila sebagai ideologi pemersatu ini, berarti kita hanya perlu membedakan apakah suatau perubahan nilai atau berkembangannya suatu nilai baru diperkirakan akan menjurus kepada disintegrasi bangsa atau tidak. Disini pemikirannya adalah bahwa setiap nilai kemasyarakatan yang secara jelas melawan atau bertentangan dengan salah satu sila atau lebih dari Pancasila akan menjurus kepada disintegrasi bangsa. Dan nilai-nilai yang demikian itu sajalah yang perlu ditolak.
Perlunya strategi yang tepat untuk menghadapi globalisasi dengan gaya kapitalis dan liberalis yaitu Indonesia harus memiliki system pemerintahan yg kuat dengan strategi yg jelas dan memberlakukan hukum yang mengikat kuat pada individu, masyarakat serta membuat kesepakatan dengan negara-negara asing dalam melakukan hubungan kerjasama yang jelas tanpa adanya ketimpangan kebijaksanaan yang justru merugikan satu negara dan menguntungkan negara lain dalam melakukan kerja sama, dengan memberikan banyak persyaratan-persyaratan kepada Negara Indonesia sebagai negara penerima bantuan pinjaman dari para pengusung gaya kapitalis tersebut.
3. Disintegrasi Bangsa
INTEGRASI bangsa adalah landasan bagi tegaknya sebuah negara modern. Keutuhan wilayah negara amat ditentukan oleh kemampuan para pemimpin dan masyarakat warga negara memelihara komitmen kebersamaan sebagai suatu bangsa. Karena itu, secara teoretik dipahami bahwa ancaman paling serius terhadap integrasi bangsa adalah disharmoni sosial, sedangkan ancaman paling nyata terhadap eksistensi wilayah negara adalah gerakan separatisme. Kedua ancaman itu sering kali bercampur baur. Karena, disharmoni sosial yang sudah meluas menjadi konflik yang mengambil bentuk kekerasan akan serta merta menarik garis-garis demarkasi teritorial.
Penampakan garis-garis itu akan cepat menjadi jelas bila pihak-pihak yang terlibat konflik merupakan representasi dari komunitas-komunitas besar yang mendominasi wilayah-wilayah tertentu. Bila ini terjadi, maka proses disintegrasi wilayah yang dimulai oleh disintegrasi sosial akan secara simultan membawa bangsa itu ke jurang disintegrasi nasional.
Organisasi Papua Merdeka (OPM)
        Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah sebuah gerakan nasionalis yang didirikan tahun 1965 yang bertujuan untuk mewujudkan kemerdekaan Papua bagian barat dari pemerintahan Indonesia. Sebelum era reformasi, provinsi yang sekarang terdiri atas Papua dan Papua Barat ini dipanggil dengan nama Irian Jaya. OPM merasa bahwa mereka tidak memiliki hubungan sejarah dengan bagian Indonesia yang lain maupun negara-negara Asia lainnya. Penyatuan wilayah ini ke dalam NKRI sejak tahun 1969 merupakan buah perjanjian antara Belanda dengan Indonesia dimana pihak Belanda menyerahkan wilayah tersebut yang selama ini dikuasainya kepada bekas jajahannya yang merdeka, Indonesia. Perjanjian tersebut oleh OPM dianggap sebagai penyerahan dari tangan satu penjajah kepada yang lain.
    Sejak tumbangnya Presiden Suharto pada bulan Mei 1998 berbagai tindak kekerasan dilakukan oleh aparat keamanan terhadap rakyat Papua Barat yang melakukan hak kebebasan berekspresi dengan berdemonstrasi dan mengibarkan bendera Papua Barat (Bintang Fajar) di berbagai kota di Papua Barat. Berbagai ‘Crime Against Humanity in West Papua’ tersebut mempunyai implikasi baik psikologis, social, budaya and ekonomi terhadap diri bangsa Papua. Mereka mengalami Jiwa yang Patah (hilang percaya diri, frustrasi, apatis, mengendapkan dendam dan kebencian yang mendalam terhadap pihak yang membuat mereka menderita). Secara social rakyat terpecah belah dan saling tidak percaya satu sama lain. Suatu kenyataan yang, selain berbagai factor lainnya, juga melatar-belakangi mengapa rakyat Papua dewasa ini menuntut untuk melepaskan diri dari Negara Kesatun Republik Indonesia sebagai bangsa yang merdeka.
Republik Maluku Selatan (RMS)
          Republik Maluku Selatan (RMS) adalah daerah yang diproklamasikan merdeka pada 25 April 1950 dengan maksud untuk memisahkan diri dari Negara Indonesia Timur (saat itu Indonesia masih berupa Republik Indonesia Serikat). Namun oleh Pemerintah Pusat, RMS dianggap sebagai pemberontakan dan setelah misi damai gagal, maka RMS ditumpas tuntas pada November 1950. Sejak 1966 RMS berfungsi sebagai pemerintahan di pengasingan, Belanda
Mayoritas penduduk Maluku pada saat RMS didirikan beragama Islam dan Kristen secara berimbang, Namun dengan adanya budaya "Pela Gandong", dapatlah dikatakan bahwa di Kepulauan Maluku, seluruh lapisan dan segenap Masyarakat Maluku bersatu secara kekeluargaan, baik ber-agama Kristen, Islam, maupun agama Hindu dan Budha, semuanya bersatu.
Pada tanggal 29 Juni 2007, beberapa elemen aktivis RMS berhasil menyusup masuk ke tengah upacara Hari Keluarga Nasional yang dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, para pejabat dan tamu asing. Mereka menari tarian Cakalele seusai Gubernur Maluku menyampaikan sambutan. Para hadirin mengira tarian itu bagian dari upacara meskipun sebenarnya tidak ada dalam jadwal. Mulanya aparat membiarkan saja aksi ini, namun tiba-tiba para penari itu mengibarkan bendera RMS. Barulah aparat keamanan tersadar dan mengusir para penari keluar arena. Di luar arena para penari itu ditangkapi. Sebagian yang mencoba melarikan diri dipukuli untuk dilumpuhkan oleh aparat. Pada saat ini (30 Juni 2007) insiden ini sedang diselidiki. Beberapa hasil investigasi menunjukkan bahwa RMS masih eksis dan mempunyai Presiden Transisi bernama Simon Saiya. Beberapa elemen RMS yang dianggap penting ditahan di kantor Densus 88 Anti Teror

Pemerintah Indonesia mesti memiliki kemauan politik yang sungguh-sungguh dan didukung oleh semua pihak untuk mempertanggungjawabkan berbagai ‘Crime Against Humanity’ dengan membawa keadilan remedy kepada rakyat Papua Barat, Rekonsiliasi dan Perdamaian. Justice ini penting untuk memulihkan secara psikologis penderitaan korban atau keluarga korban selama bertahun-tahaun mengalami penderitaan, tetapi juga sebagai proses law enforcement, menanamkan kultur supremasi hokum di atas segala kepentingan.
Proses rehabilitasi, terutama healing proscess melalui berbagai bentuk kegiatan untuk membebaskan rakyat secara psikologis dari beban trauma, dendam dan kebencian yang diendapkan dari pengalaman buruk yang dialami.
Membangun kultur penghormatan terhadap hak asasi manusia dan demokrasi melalui berbagai bentuk pendidikan HAM dan Demokrasi.
4. Agama (Ideologi Pancasila menuju Syariat Islam)
Ideologi Pancasila merupakan dasar negara yang mengakui dan mengagungkan keberadaan agama dalam pemerintahan. Sehingga kita sebagai warga negara Indonesia tidak perlu meragukan konsistensi atas Ideologi Pancasila terhadap agama. Tidak perlu berusaha mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi berbasis agama dengan alasan bahwa ideologi Pancasila bukan ideologi beragama. Ideologi Pancasila adalah ideologi beragama.
Akhir-akhir ini berkembang wacana bahwa NKRI sudah final, Pancasila tidak bertentangan dengan syari’at Islam bahkan bisa mengadopsi syari’at Islam. Hal ini timbul karena opini bahwa penegakan syari’at Islam akan berdampak desintegrasi NKRI atau penegakan syari’at Islam akan merusak keragaman budaya Indonesia. Ini opini yang menyesatkan, karena justru konsep Islam menyatukan umat berdasarkan aqidahnya (Islam). Islam justru membuang jauh-jauh sekat-sekat nasionalisme kebangsaan, sehingga menjulurlah peradaban Islam keseluruh jazirah Arab, bekas daerah Persia dan Rumawi, hingga Balkan.
Islam diyakini mengatur seluruh relung kehidupan manusia, disamping mengatur tata cara ibadah, Islam juga mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tidak dapat dipungkiri bahwa al-Quran dan as-sunnah berisi aturan tentang sosial kemasyarakatan (mu’amalah), ekonomi (iqitishadiy), politik (siyasah), peradilan (‘uqubat), dll. Tidak ada kitab didunia sesempurna aturan yang ada dalam al-Quran, kitab agama lain cenderung mengatur tata cara ibadah, do’a-do’a dan akhlaq. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa Islam tidak hanya sebuah agama (mengatur ritual ibadah semata) tetapi juga sebuah ideologi yakni mampu membentuk sebuah peradaban. Ini terbukti dengan peradaban Islam yang gemilang dari masa pembentukan negara Madinah yang dipimpin langsung oleh Muhammad saw, khulafaurrsasyidin dan dilanjutkan kekhilafahan Umayyah, Abassiyah dan Utsmaniyah.

Pancasila berasal dari sebuah ideologi lain yang bernama demokrasi, Pancasila diadopsi dari demokrasi yang diambil dari Barat dan dimasukkan nilai-nilai keindonesian didalamnya. Demokrasi sendiri kemunculannya karena keinginan yang kuat untuk memisahkan kehidupan Negara dan agama, karena begitu dominannya pengaruh agama (gereja) dalam mengatur kekaisaran. Hal inilah yang dikenal dengan sekulerisme dan itu melekat erat dalam diri demokrasi. Fakta kemudian menunjukkan bahwa dalam alam demokrasi sebuah aturan disahkan selama mayoritas masyarakat (bisa diwakilkan) menerimanya, meskipun aturan tersebut bertentangan dengan norma agama. Sehingga sebetulnya Pancasila adalah sebuah ideologi sekuler yang diadopsi dari demokrasi yang telah dimodifikasi dengan unsur-unsur keindonesian.
Ketika dicoba dibuat jalan tengah (wasathiyyah) antara Islam dan Pancasila maka muncullah ide untuk memasukkan saja syari’at (hukum/UU) Islam tetapi masih dalam kerangka (frame) Demokrasi Pancasila. Dengan alasan Pancasila sendiri tidak bertentangan dengan agama dan malah sangat religius karena sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Telah diuraikan diatas bahwa Islam tidak hanya sebuah agama tetapi juga IDEOLOGI, begitu juga Pancasila diadopsi dari demokrasi dengan nilai keindonesian adalah sebuah IDEOLOGI. Bagaimana mungkin 2 (dua) ideologi yang berbeda landasannya bisa digabungkan? Ideologi Islam berdasarkan wahyu Allah swt berupa al-Quran dan as-sunnah, sedangkan Ideologi Pancasila berdasarkan kesepakatan umum yang diterima rakyat. Ideologi Islam dijalankan berdasarkan ketaqwaan kepada Allah swt, Ideologi Pancasila dijalankan berdasarkan kemaslahatan rakyat. Walhasil, ini bagaikan mencampurkan antara minyak dan air dalam satu gelas dan mustahil untuk bisa menyatu atau bagaikan kapal dengan dua nakhoda dan tidak mungkin bisa mencapai tujuan.
Belakangan ini banyak kalangan khawatir Pancasila akan tergantikan oleh ideologi lain, Islam misalnya, karena banyak produk Undang-Undang atau Perda yang Islami Boleh-boleh saja kekhawatiran semacam itu. Tapi, akan lebih baik bila tidak ada perda Syariat Islam, tetapi secara realitas perda itu sudah ada. Prosesnya dilakukan secara demokratis dari bawah. Sebaiknya jangan disebut perda Syariat Islam karena akan mengulangi pertentangan kelompok Islam dengan kelompok nasionalis. Tidak boleh ada perda yang bertentangan dengan UU, UUD atau Pancasila. Karena itu, perlu ada penyelesaian yang baik. Perda Syariat Islam yang ada sebaiknya diinventarisir dan dikaji lagi apakah bertentangan dengan peraturan di atasnya. Kemudian, kalau perda itu tidak ada sanksinya tidak ada masalah karena lebih bersifar himbauan. Tetapi kalau ada sanksinya, maka hukum acaranya tidak boleh bertentangan dengan hukum acara yang sudah berlaku.
5. Korupsi
Sudah bukan rahasia lagi kalau negara kita ini termasuk salah satu sarang koruptor paling banyak di dunia. Tidak di mana-mana, pelaku tilep-menilep yang bukan haknya sudah jadi darah daging. Di tingkat sekolah, ada. Tingkat RT, banyak. Tingkat, negara? Wah, itu mah sudah jagonya. Dari sudut pandang hukum, perbuatan korupsi mencakup unsur-unsur melanggar hukum yang berlaku, penyalahgunaan wewenang, merugikan negara, memperkaya pribadi atau diri sendiri.
Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi. Korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kejahatan. Bergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang ilegal di tempat lain.
Dampak korupsi sudah jelas! Korupsi bikin mekanisme pasar tidak berjalan. Proteksi, monopoli dan oligopoli menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan distorsi pada distribusi barang dan jasa, dimana pengusaha yang mampu berkolaborasi dengan elit politik mendapat akses, konsesi dan kontrak-kontrak ekonomi dengan keuntungan besar. Persaingan usaha yang harus dimenangkan dengan praktik suap-menyuap mengakibatkan biaya produksi membengkak. Ongkos buruh ditekan serendah mungkin sebagai kompensasi biaya korupsi yang sudah dikeluarkan pelaku ekonomi.
Dasar Hukum: UU 31 tahun 1999, UU 20 tahun 2001

Pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini dilakukan oleh beberapa institusi:
1. Tim Tastipikor (Tindak Pidana Korupsi)
3. Kepolisian
4. Kejaksaan
5. BPKP
6. Lembaga non-pemerintah: Media massa Organisasi massa (mis: ICW)